“Kau tahu, Sayang … aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kali kita bertemu,” bisik Ery ke telinga Rien di malam pertama pernikahan mereka.
“Oya, kapan itu?” sahut Rien dengan raut wajah penasaran. Selama ini dialah yang menyukai suaminya lebih dulu. Rien mengagumi, bahkan mendambakannya sejak mereka masih sama-sama duduk di bangku sekolah belasan tahun lalu.
“Kamu ingat waktu acara orientasi sekolah zaman SMP dulu? Di mataku, kamu gadis paling manis dengan dua kuncir berpita ungu yang selalu membuatku tak bisa mengalihkan pandangan darimu,” ungkapnya jujur.
Wajah Rien merona, ia mengingat secara utuh kenangan masa remajanya itu. Ery adalah kakak kelas favorit yang paling getol mengerjai murid baru. Sementara Rien yang lugu merupakan mangsa empuk bagi kakak kelas yang memang doyan mengganggu dan menakut-nakuti juniornya.
“Ah, yang benar? Pantas saja Kak Cindy sangat cemburu padaku hingga tiada hari tanpa bully-an darinya,” sahut Rien yang langsung pasang tampang merajuk seraya membuang tatapannya ke arah balkon kamar. ketika menyebutkan nama seorang kakak kelas yang dia ingat suka menindas dirinya.
Ery spontan tertawa, lalu dia meraih tangan gadis yang baru dinikahinya beberapa jam lalu. Bulu kuduk Rien bergidik, teringat dulu Cindy pernah menjadi salah satu mimpi buruknya.
“Jangan bercanda deh, Mas … seingatku saat itu aku masih gadis berkacamata tebal yang sangat gugup dan pemalu, rasanya mustahil jika ada yang melirikku,” Rien menyangsikan pengakuan suaminya. Ery menarik Rien mendekat dan menghujaninya dengan tatapan penuh arti .
“Tapi kamu lupa, kalau saat itu kamu sangat lucu dan menggemaskan. Aku selalu gagal mengalihkan perhatianku dari gadis berpipi kemerahan, pemilik senyum menawan, yang memenuhi isi kepalaku,” kembali Ery membuat pengakuan seraya menyisipkan jurus-jurus flirting yang sukses membuat perut gadis itu berasa diserang ribuan kupu-kupu.
“Mari jangan membicarakan orang lain malam ini, bisakah kita hanya berbicara tentang kita?” pintanya seraya mengecup ubun-ubun sang istri.
“Baiklah, tapi asal kamu tahu, sebenarnya saat itu bukan pertemuan pertama kita. Sebentar, aku ingin kamu melihat sesuatu.”
Rien bergerak menuju laci nakas dan mengambil sehelai foto tua. Tampak beberapa balita bertubuh subur yang sedang bergandengan tangan di sebuah acara perpisahan di kantor orang tua mereka. Mata Ery berbinar, dia menunjuk pada seorang anak laki-laki bertubuh gempal yang berdiri di antara bocah sebaya lainnya.
“Hey, its me!” Serunya excited. Rien tersenyum, ” … and, its me!” sahutnya seraya menunjuk pada gadis cilik montok di sebelah si gempal tampan yang menggenggam erat tangannya di foto itu.
“Well, actually she’s my first love and I also fall in love with her when the first time I saw her, but unfortunately I did not know her name, and then I lost her after the party.”
Dengan mantap dia bercerita dan mengakui perasaannya lagi dan lagi. Wajah Rien kembali merona, dia malu mengakui kalau sebenarnya, Ery adalah juga cinta pertamanya sejak mereka masih sama-sama balita. Dia juga malu untuk mengatakan bahwa itu juga cinta pada pandangan pertama yang semula dianggapnya cinta monyet semata. Namun, siapa sangka kemudian kedua bocah ini dipertemukan kembali dan saling jatuh cinta.
Keduanya memang sepakat untuk tidak berpacaran sebelum menikah. Saling mengingatkan agar masing-masing menahan diri dan pandangan dikarenakan takut kepada Allah ta’ala hingga akhirnya membulatkan tekad untuk saling menghalalkan sesuai sunnah Rasulullah.
“Bagaimana kalau kita akhiri dulu perbincangan di malam pertama pernikahan kita ini? ada sesuatu yang sudah lama ingin aku lakukan,” bisik Ery lembut yang disambut dengan anggukan malu-malu gadis pujaan hatinya.
