Joeragan artikel

Penantian yang Tergadai

Waktu telah sepenggalah ketika Tomi menunggu istrinya, Arum, menyiapkan sarapan. Pria berusia 24 tahun itu duduk bermenung, memikirkan ke mana lagi dia akan melamar pekerjaan.

Sementara itu, Arum menyiapkan sarapan nasi goreng sambil bersenandung. Sudah empat minggu dia terlambat bulan. Setelah sarapan bersama, perempuan yang berusia tiga tahun lebih muda dari Tomi itu pun mulai menyampaikan kabar gembira tentang kehamilannya.

Bukannya semringah, melainkan memerah wajah Tomi mengetahui Arum telah mengandung buah hati mereka. Setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai sopir mobil barang, utangnya menumpuk. Tomi tak siap menafkahi satu anggota keluarga lagi.

“Aduh, Arum! Masa pandemi begini, kamu malah hamil? Mas enggak ada tabungan untuk biaya melahirkan. Gugurkan saja kandunganmu!” seru Tomi kesal.

“Istigfar, Mas. Kita sudah menantinya setahun lebih. Allah menitipkan anak tentu bersama rezekinya juga,” kata Arum. Air matanya menetes.

Selama trisemester pertama dan kedua, Arum tidak bisa bermanja-manja atau mengidam sesuatu karena Tomi sama sekali tidak peduli dengan kehamilannya. Pemasukan keluarga mereka hanya berasal dari upah harian Tomi yang banting setir menjadi kuli panggul di pasar.

Suatu hari, istri seorang pengusaha kaya menawarkan pekerjaan sebagai sopir pribadi kepada Tomi. Tanpa pikir panjang, Tomi segera menerima tawaran tersebut walaupun dia harus menandatangani kontrak perjanjian yang pasti akan ditentang Arum. Ia menggadaikan calon anaknya.

Kehidupan Tomi berubah. Pendapatannya lebih baik sejak menjadi sopir pribadi. Tomi pun menjadi lebih perhatian kepada Arum dan janinnya. Dia rutin mengajak Arum kontrol kehamilan dan membelikan makanan bergizi. Lelaki tampan itu semakin bersuka cita setelah hasil USG menunjukkan bahwa janin yang dikandung Arum berjenis kelamin laki-laki.

โ€œDia pasti akan ganteng seperti bapaknya,โ€ kata Tomi sambil mengelus perut istrinya. Senyumnya mengembang.

Mendekati hari perkiraan lahir, Arum mengalami preeklamsia. Dokter menyarankan Arum untuk segera menjalani persalinan melalui operasi caesar. Selama detik-detik menjelang masuk ruang operasi, Arum terus meminta maaf kepada Tomi karena tidak bisa melahirkan secara normal.

“Enggak apa-apa, Sayang. Kamu enggak usah mikirin biaya operasi. Fokus saja pada persalinan, ya!” ujar Tomi mencoba menenangkan.

Pascaoperasi, kondisi Arum bertambah parah. Ia mengalami perdarahan postpartum. Dan harus menerima perawatan intensif selama empat hari. Setelah tubuhnya mulai pulih, Arum tidak sabar ingin melihat bayinya. Namun, Tomi memberikan kabar yang membuat dunianya runtuh. Bayinya tidak terselamatkan.

Selama berminggu-minggu, wajah Arum selalu sendu. Sungguh berat kehilangan anak pertama yang amat dinantikan. Baginya, kerinduan yang paling menyiksa adalah rindu kepada seseorang yang telah tiada. Dia mencoba untuk ikhlas, tetapi tidak mudah. Kedatangan ibunya dari kampunglah yang mampu menguatkan hati Arum.

“Yang sabar ya, Nduk. Anakmu sudah tenang di surga. Dia yang akan menjadi penyelamatmu di akhirat nanti. Kamu harus ikhlas.”

Pelan-pelan, Arum mulai bisa mengikhlaskan kepergian buah hatinya. Dia mulai mengisi hari dengan kegiatan positif seperti mengaji dan fokus menjalani program kehamilan.

Sementara itu, setiap kali berada di rumah majikannya, Tomi tidak pernah bosan memandangi bayi laki-laki tampan yang sudah pandai merangkak. Nyonya majikannya berjanji akan membesarkan dan menjadikan bayi itu sebagai pewaris perusahaan saat dewasa nanti.

Indramayu, 21 Juli 2021
Penulis : Nita Yunsa

#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day10
#TemaIkhlas

Editor : Saheeda Noor

1 komentar untuk “Penantian yang Tergadai”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami