Joeragan artikel

Pemuja Rahasia

 

Oleh: Haryati Hs.

“Duh … yang sweet seventeen.”

Ina, teman sekelasku, menggoda ketika kami berpapasan di depan kelas. Saat itu aku hanya tersenyum. Sebenarnya, bukan hanya aku yang berulang tahun hari ini, tetapi juga Arumi, teman sebangkuku.

Saat aku hampir tiba di bangkuku, teriakan Arumi menahan langkahku. Aku berpikir, pasti teriakan itu disebabkan oleh si tukang usil, Nando. Cowok pandai itu sepertinya suka pada Arumi, sehingga senang menggodanya.

Aku melangkah menghampiri mereka, lalu segera menggandeng tangan Arumi untuk mengikutiku.

“Jangan ganggu Arumi terus, dong, Ndo,” tegurku, yang dibalas tawa lebar oleh Nando.

Setelah duduk di bangku, aku membuka laci meja untuk menyimpan beberapa buku. Tidak disangka, di dalam laci kutemukan sebuah kado berpita yang elegan.

“Eh, ada kado!” Aku berseru sambil mengacungkan kado tersebut.

“Hah! Kado?” tanya Arumi seraya mengambil kado itu dari tanganku. “Wah, rupanya ada pemuja rahasia yang kasih kamu kado istimewa, Din,” goda Arumi.

“Jangan bercanda, deh, Mi,” tegurku pada Arumi yang sedang senyum-senyum sendiri.

“Atau, jangan-jangan kado tak bertuan ini untukmu? Hanya saja, si pemuja rahasia salah meletakkannya,” sambungku, mengemukakan ide yang segera ditepis oleh Arumi.

“Seorang pemuja nggak akan salah meletakkan kado istimewa untuk pujaannya,” kilahnya, lalu melanjutkan, “Jadi, fix, kado di lacimu ini memang ditujukan untukmu.”

Ngaco, ah!” Kucubit lengan Arumi sebelum mengambil kado dari tangannya dan menyimpannya kembali ke dalam laci. Aku pun menyimpan rasa penasaranku dalam hati.

***

Sepulang sekolah, Ina mengajakku dan Arumi makan siang di kafe Ujung Gang tidak jauh dari sekolah. Semula aku menolak, tetapi Ina memaksa dengan alasan bahwa ia akan mentraktirku dan Arumi yang sedang berulang tahun.

“Dini, kamu masuk dulu, ya. Aku kebelet,” kata Ina ketika kami tiba di depan kafe.

“Iya, aku juga, nih,” timpal Arumi sambil meringis.

Tanpa bisa protes, aku melangkah masuk dan memilih meja di dekat jendela. Baru saja aku duduk, sebuah suara yang sangat kukenal melontarkan pertanyaan.

“Aku boleh duduk di sini, kan, Din?”

Ketika menoleh, aku terpana mendapati senyum manis Nando.

“Silakan saja, tetapi aku nggak tau apakah Ina dan Arumi akan mengizinkan.”

Nando tergelak dan segera duduk di hadapanku. Kami menunggu beberapa saat, tetapi kedua sahabatku itu belum juga datang.

Happy sweet seventeen, ya, Din,” kata Nando tiba-tiba sambil mengulurkan setangkai mawar merah kepadaku.

Aku tercengang. Ucapan selamatnya bisa kuterima, tapi pemberian bunganya tak kupahami.

“Jadi, aku ditolak, nih?” Nando bertanya perlahan tatkala aku tidak juga merespon.

“Tunggu,” jawabku akhirnya. “Apa maksud ditolak?”

“Maksudnya, kalau kamu diam saja, Nando berpikir kamu menolak perasaannya, Dini!”

Aku melengak mendengar penjelasan Ina dan Dini, yang entah sejak kapan sudah berada di belakangku. Kemudian kupelototi Nando yang sedang garuk-garuk kepala.

“Maaf, ya, Din. Selama ini aku sudah secara diam-diam menyukaimu. Di ulang tahunmu yang ke-17 ini, aku ingin berterus terang.” Nando akhirnya bersuara.

“Jadi … Bukan Arumi?”

Arumi dan Nando menggeleng bersamaan, disambut gelak tawa Ina.

“Dan ini, kado istimewa dari Nando.” Ina meletakkan kado berpita yang tadi kutinggalkan di kelas.

“Nah, kita sudah sah jadian, kan, Din?” ujar Nando dengan tangan terulur memberikan mawarnya.

Dengan tersipu, aku menerima mawar dari Nando diiringi canda tawa kedua sahabatku.

 

Editor: Dina Ananti

#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day9
#temaulangtahun

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami