Joeragan artikel

Pariyem

Titik Jeha

Sudah seminggu gadis lincah berparas manis itu, protes ingin berganti nama. Ia tidak suka dan benci dengan nama ‘Pariyem’. Menurutnya, nama Pariyem itu jelek dan kampungan.

“Nenek, aku tidak mau nama Pariyem! Aku mau ganti nama Farida!” teriak gadis yatim piatu itu sepulang sekolah.

Neneknya merasa heran dengan perubahan Pariyem. Sebelumnya gadis itu tidak pernah mempermasalahkan nama. Teman-temannya juga tidak. Tetapi, sejak kehadiran murid baru dari kota yang bernama Friska, semua berubah. Mereka menjulukinya Parud, Pariyem Udik.

Hari ini merupakan puncak protes Pariyem. Ia tidak mau masuk sekolah. Seharian ia mengurung diri di kamar. Menangis, merenung, dan meratapi nasib yang tidak beruntung, memiliki nama aneh.

Sorot kecewa yang dalam terpancar dari tatapan mata gadis kecil itu, tatkala memandang foto ayah ibunya yang usang. Ada terbersit penyesalan yang mencuat di hati Pariyem terhadap kedua orang tuanya. Mengapa mereka memberinya nama Pariyem? Tidak adakah nama lain yang lebih bagus dari itu? Bukankah banyak nama-nama yang bisa mereka pilih? Kenapa Pariyem??? Andai saja mereka masih hidup dan namanya bukan Pariyem.

Nenek bingung memikirkan tingkah cucu kesayangannya itu. Segala upaya dilakukannya agar ia kembali ceria. Hari Senin lusa, nenek akan ke sekolah untuk mengurus penggantian nama Pariyem menjadi Farida.

***

Hari itu anak-anak berbaris di halaman sekolah untuk mendengarkan pengumuman, ketika sekolah kedatangan dua orang tamu dinas. Mereka terlihat sedang berbicara serius dengan bapak kepala sekolah.

“Bapak ibu guru dan anak-anak sekalian, ada pengumuman penting yang akan Bapak sampaikan pagi ini,” kata Bapak kepala sekolah menggunakan mikrofon. Semua orang memperhatikannya.

“Hari ini kita kedatangan tamu dinas yang menyampaikan berita bahwa sekolah kita menjadi juara ke satu lomba karya tulis tingkat kota dan akan maju ke tingkat provinsi. Bapak ucapkan selamat dan terima kasih kepada Ananda Pariyem kelas 5A yang sudah ikut lomba mewakili sekolah. Tepuk tangan untuk Ananda Pariyem!”

Tepuk tangan gemuruh, menggema di halaman sekolah. Semua mata memandang ke Pariyem. Gadis itu diam, wajahnya memucat, bingung. Semua orang menyebut-nyebut namanya.

“Kepada Ananda Pariyem, silakan maju ke depan untuk menerima piala dan piagam,” seru Bapak kepala sekolah selanjutnya.

“Pariyem! Pariyem!” Teman-teman bertepuk tangan seraya meneriakkan namanya. Mereka semua tampak senang dan memandang Pariyem dengan bangga. Tidak ada satupun dari mereka yang mengejek apalagi menghina.

Termasuk juga Friska. Anak baru dari kota itu mendadak menjadi baik. Ia menghampiri dan menyalaminya, memberi ucapan selamat sekaligus meminta maaf. Gadis itu hampir tidak percaya dengan apa yang dialaminya.

Pariyem tampak menghela napas. Perlahan ia melangkahkan kakinya  menuju tengah-tengah halaman sekolah. Bibirnya menebar senyum merekah.

Pariyem telah kembali, bisik gadis itu penuh semangat.

Neneknya benar, setiap orang tua pasti memberi nama kepada anak atas dasar cinta, kasih sayang dan harapan. Begitu juga kedua orang tuanya yang ingin agar kelak ia bisa seperti padi yang memberikan manfaat dan kedamaian. Gadis kecil itu mulai mengerti, Pariyem bukanlah nama yang buruk maupun aib.

Ayah, Ibu, maafkan aku, yang tidak tahu cara menghargai dan pernah merasa gengsi dengan nama pemberianmu. Namaku Pariyem bukan Farida, gumamnya lirih, tersenyum ceria.

Bandung, 29 Januari 2019

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami