“Opal! Pulang, Nak! Sebentar lagi azan Magrib!” Pak Dono berteriak memanggil anak semata wayangnya.
Setiap sore, Opal diizinkan main di luar rumah bersama teman-temannya. Namun, dia hampir selalu lupa waktu.
Opal pernah sampai rumah selepas azan Magrib. Pak Dono dan istrinya tentu sangat khawatir. Mereka mencari cara agar Opal bisa pulang tepat waktu.
Akhirnya Dono mendapatkan ide. Malam itu, Dono menemani Opal tidur. Ia ingin mengobrol banyak hal dengan Opal.
“Opal, Papah mau nanya, kamu main ke mana saja, sih? Dipanggil Papah dan Mamah, kok, lama banget datangnya?” Pak Dono membuka percakapan sambil menarik selimut.
“Opal main di dekat rumah saja, kok, Pah.”
“Kalau di dekat rumah, kenapa lama baru sampai rumah?” kata Pak Dono sambil menatap mata anaknya.
“Papah nggak sabar, sih. Kan Opal harus bareng-bareng sama teman kalau pulang, Pah. Diejekin kalau pulang duluan.” Opal menjawab tanpa ragu.
“Ooo, begitu. Apa Opal enggak takut kalau sudah azan Magrib baru pulang?” Pak Dono mulai menjalankan rencananya.
“Nggak, Pah. Opal, kan, laki-laki. Kata Mamah, anak laki-laki enggak boleh jadi penakut.” Opal menjawab sambil memukul-mukul dadanya.
“Iya, benar. Tapi, pulang bermain setelah masuk Magrib itu berbahaya.” Pak Dono berkata sambil mengelus rambut anaknya.
“Emang bahaya apa, Pah?” Opal malah penasaran. Pak Dono berpikir sebentar, lalu memulai aksinya.
“Apakah Opal tahu? Saat malam tiba, ada banyak makhluk yang menculik anak kecil untuk dijadikan makanannya.” Pak Dono memasang raut wajah serius.
“Bohong! Opal tahu. Maksud Papa, itu drakula atau vampir, kan?” Opal menjawab sambil tertawa.
“Eh, bukan atuh. Ini serius.” Pak Dono berkata sambil menggelitik perut Opal. Tawa mereka semakin renyah.
“Ada makhluk yang suka sekali menculik anak kecil di malam hari. Namanya orang bati.” Pak Dono melanjutkan sambil mengingat-ingat cerita ibunya dahulu.
“Namanya, kok, aneh? Bentuknya seperti apa, Pah?” Opal mulai penasaran.
“Bentuknya seperti kera, tetapi memiliki sayap seperti kelelawar. Hiiii, ngeri, kan? Makhluk itu menangkap anak-anak dengan sayapnya yang lebar.”
“Terus, Pah?” Opal menatap wajah papahnya dengan lebih serius.
“Orang bati ini tinggi besar dan tubuhnya berwarna merah.”
Pak Dono menelan ludahnya. Ia merasakan ketakutan yang hampir sama saat ibunya pertama kali bercerita tentang orang bati.
“Ihhh. Kelelawar, kan, tubuhnya hitam, Pah?” Opal berusaha menampik rasa takutnya. Bulu kuduknya sudah merinding.
“Hitam itu kelelawar. Warna merah menunjukkan betapa jahatnya makhluk itu. Bayangkan! Anak lucu seperti kamu bisa diculik olehnya.” Pak Dono menarik selimut sampai menutupi wajahnya.
Opal ketakutan dan ikut menarik selimut. Dono tersenyum puas. Padahal, sosok Orang Bati itu ada di Pulau Seram, jauh dari tempat mereka. Semoga Opal jadi tahu bahwa dia harus sampai rumah sebelum Magrib.
Listrik tiba-tiba padam. Pak Dono mendengus kesal. Pemutusan aliran listrik sering sekali terjadi di desanya. Dengan penerangan lampu senter, Pak Dono dan Opal pergi ke dapur untuk mengambil lilin.
Lilin baru saja dinyalakan. Tiba-tiba, Opal berteriak nyaring, “Huaaaa, ada orang bati!” Pak Dono yang juga kaget langsung memeluknya.
“He! Kalian ini sudah malam teriak-teriak! Ini Mamah!”
Bu Dono yang sedang mengenakan mukena berwarna merah berkacak pinggang layaknya orang bati mengepakkan sayap.
#Editor: Saheeda Noor
#ajangfikminjoeraganartikel2021