Joeragan artikel

Opera Sandal Jepit

Titik Jeha

Pagi ini, aku merasa agak panik. Sepasang sandal jepit kesayangan Mas Ari telah hilang entah ke mana. Aku sudah mencarinya di setiap sudut rumah, namun tidak ketemu juga.. Seingatku, ia memakai sandal jepit itu saat pergi ronda tadi malam.

“Mas, sandal jepitnya enggak ada, loh,” teriakku dari dalam kamar, sedikit khawatir.  

“Biarin aja, Sayang. Kan bisa beli lagi yang baru,” sahut Mas Ari enteng sambil menonton berita di televisi.

Ajaib. Bagaimana mungkin ia merelakan sandal jepitnya hilang begitu saja? Tapi, ya sudahlah. Aku bersyukur atas perubahan sikap Mas Ari.

Sudah sebulan ini Mas Ari jarang pergi keluar kota, padahal biasanya dia hampir setiap minggu. Sekarang, paling-paling dua minggu sekali itu pun hanya menginap semalam.

Kebiasaan Mas Ari juga berubah total. Dia sekarang rajin ke mesjid, kerja bakti, bahkan ronda malam. Aku merasa senang karena ia benar-benar menjelma suami siaga. 

Plok!

Sebuah kotak perhiasan berwarna merah jatuh dari lemari pakaian. Dari dalam kotak itu menggelinding sebuah benda berkilauan di lantai. Ternyata sebuah cincin berlian yang indah.

Cincin itu kuambil dan mencobanya di jari manis. Wah, ukurannya pas! Seketika anganku melayang membayangkan Mas Ari menghadiahkannya di ulang tahun pernikahan yang tinggal tiga hari lagi. Dengan hati-hati kukembalikan benda itu pada tempat semula sembari tersenyum senang. Aku akan berpura-pura tidak tahu tentang cincin itu dan menunggu momen indah yang akan terjadi.

Tiga hari telah berlalu. Seminggu, dua minggu … yang kutunggu-tunggu tidak terjadi. Semua berjalan seperti biasa, tidak ada hal yang istimewa. Jangankan memberi hadiah, ia bahkan lupa dengan sejarah awal rumah tangganya. Dan, cincin berlian itu pun raib entah kemana.

***

Hari Minggu pagi yang cerah, aku sengaja ikut senam aerobik di taman balai kota. Kebetulan Mas Ari sedang keluar kota beberapa hari, jadi aku punya banyak waktu untuk me time.

Mendadak aku penasaran pada wanita muda yang duduk di sebelah kananku. Di jari manisnya melingkar sebuah cincin berlian. Semoga saja dugaanku salah.

Diam-diam aku memperhatikannya. Wajahnya berpoles make up tebal, berlipstik merah muda, senada dengan kostumnya. Tubuhnya sintal, rambut lurus diikat ke belakang seperti ekor kuda. Gayanya enerjik. Style yang sangat kontras denganku. Stelan kaos oblong putih lengan panjang dan celana training hijau toska, ditambah kerudung putih. Wajah tanpa polesan, cukup pelembab dan pemerah bibir berwarna peach.

Aku tersenyum bersyukur memiliki suami yang tidak menuntut aneh-aneh urusan dandan. Apa pun yang kupakai selalu dibilang cantik.

Wanita muda itu ternyata bernama Rika, berasal dari Jakarta. Ia hijrah ke Bandung karena suaminya bekerja di sini. Mereka baru sebulan menyewa rumah di kawasan elite yang jaraknya hanya sekitar satu setengah kilometer dari tempat tinggalku.

Rika itu teman yang menyenangkan, jauh dari kesan angkuh seperti yang terlihat. Aku dibuatnya tertegun saat menceritakan kisah cintanya. Kisah cinta pertama di SMA yang romantis dan dramatis seperti di sinetron. Jalinan asmara mereka tertunda karena Rika harus menikah dengan pria pilihan orang tuanya. Dan setelah tujuh tahun terpisah, mereka dipertemukan kembali di acara reuni tahun lalu ketika wanita muda itu berstatus janda.

“Tapi itu kisah lama. Sekarang aku sudah menikah dengan Ryaaaan,” ucap Rika dengan riang sambil memperlihatkan cincin berlian di jarinya. Matanya yang agak sipit berbinar ceria.

“Alhamdulillah. Selamat, ya, Mbak!” kataku terharu mendengar cerita cintanya.  

“Kita pulangnya bareng aja, ya! Sekalian kenalan dengan suamiku. Dia pasti senang aku punya teman baru di sini,” ajak Rika antusias. Aku mengangguk, tersenyum.

Tiba-tiba perempuan itu berdiri dan berjalan melenggang setelah menerima telepon dari seseorang. Tangan kananku digandengnya menuju pintu gerbang taman. Aku mengikuti saja kemana arah kakinya melangkah.

Di seberang jalan, seorang lelaki gagah telah menunggunya. Ia tampak sibuk berbicara di telepon dan tak menghiraukan kedatanganku bersama Rika. Sesaat langkahku terhenti dan ragu-ragu, tetapi wanita itu terus memaksaku masuk ke dalam mobil.

“Yang, kenalkan ini teman baruku. Dia pulangnya searah dengan kita, jadi aku ajak bareng. Boleh kan?” rajuk Rika kepada suaminya yang masih sibuk dengan ponsel.

“Boleh. Kenalkan, saya Haryanto suami Rika. Panggil saja Ryan,” kata lelaki itu tanpa menoleh sedikitpun.

“Ra-tih,” jawabku terbata.

Laki-laki itu tampak kaget, mengangkat muka. Ia menoleh. Wajahnya memerah saat melihatku.

Mataku menatapnya nanar meluapkan emosi yang bergejolak. Dadaku sesak terbakar amuk rasa yang memuncak.

Rika sangat terkejut. Dipandanginya Ryan dan aku bergantian dengan muka yang kebingungan.

Sekuat tenaga aku mencoba menahan diri dengan menghela napas dalam, mengunci mulut rapat-rapat, dan mencegah airmata ini agar tidak tumpah. Terlalu banyak kata-kata yang ingin aku muntahkan terutama kepada Ryan alias Mas Ari.

Bergegas aku segera turun dari mobil itu yang terasa panas menyiksa. Cincin emas mahar pernikahan dulu kulepas dan melemparkannya ke muka Mas Ari. Kutinggalkan mereka tanpa permisi, tidak peduli pada Rika yang berteriak-teriak memanggil untuk kembali.

Bandung, 07 Januari 2019

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami