Oleh: Haryati Hs.
Aku meninggalkan Iwan dan Kiki untuk memasuki ruangan yang luas dan suram itu. Semakin aku melangkah, aroma khas debu menguar dan membuatku sesak, tetapi aku harus menemukan Anjani. Ia terus membicarakan rumah ini sejak bangun pagi tadi. Hal itu membuatku khawatir. Kekhawatiranku memuncak ketika tidak kulihat dirinya selepas ashar.
Gerakan di sisi kiri ruang yang temaram ini mengusikku. Aku menoleh cepat dan melihat tirai jendela yang menjuntai bergoyang-goyang. Bulu kudukku meremang. Kuseret kakiku menembus keremangan di depanku.
“Anjani!” Aku berteriak tertahan, tetapi hanya kesunyian yang kuhadapi.
Ketidaknyamanan semakin menyergapku, tatkala naluriku menangkap beberapa pasang mata yang sedang mengawasi. Namun, hilangnya Anjani menahanku untuk berbalik arah.
Brak! Suara gaduh membuatku terperanjat. Entah tenaga dari mana yang membawaku ke sumber suara.
“Anjani?!” teriakku lagi.
Anjani tak ada di sana. Hanya sebuah lukisan berbingkai kayu jati yang tergeletak di lantai. Tatapan yang menyorot dari kedua mata wanita pada lukisan itu melucuti seluruh tulang di tubuhku. Meskipun aku ingin melompat dan menjauh, gravitasi bumi sepertinya menahanku. Kupejamkan mata untuk menguasai perasaan. Tiba-tiba, sebuah kesadaran memaksaku membuka mata.
“Senyum itu … Anjani,” desisku. Aku merasa akalku melayang. Perlahan, aku berjongkok dan mengulurkan tangan untuk meraba wajah cantik itu. Aku sangat mengenalnya.
Sekonyong-konyong seberkas cahaya menerpaku, menggerakkan refleks yang kumiliki. Pada saat itu, aku mendengar namaku dipanggil.
“Bayu … sedang apa di situ?!”
Meski silau oleh cahaya dari senter yang diarahkan kepadaku, aku tetap dapat mengenali si pemilik suara. Gadis yang wajahnya terpampang di lantai itu bergerak mendekat, disusul oleh Iwan dan Kiki. Sebelum mereka tiba, kedua tanganku mengangkat lukisan dan menyandarkannya ke dinding. Akan tetapi, sebelum aku berbalik, sepasang tangan lembut meraih lukisan dan berusaha keras membalikkannya. Refleks aku menahan lukisan itu. Aku tidak mau Anjani terkejut.
Walaupun menuai protes keras dari Anjani, Aku tetap menyeretnya dan yang lain keluar. Namun, belum selangkah kami berjalan, suara yang keras bergema di Lorong itu. Ketika kami menoleh, Anjani terpekik. Sepertinya dia tidak mempercayai penglihatannya.
“Apa aku sedang bercermin?” Anjani bergumam dengan suara bergetar.
“Kenapa, Anjani?” Aku mengguncang bahunya yang tegang tanpa menghiraukan pertanyaan bernada sama dari Iwan dan Kiki.
Anjani menunjuk lukisan yang bersandar di dinding. Tidak ada yang aneh. Melihat Anjani terus bergeming, aku meminta Kiki membantuku menyeret Anjani keluar dari rumah tua itu.
Sesampainya di luar rumah, mentari sudah menyembunyikan sinarnya. Di pintu gerbang, Kakek Eyot, begitu kami memanggilnya, sudah menunggu. Wajah kakek mengelam ketika melihat Anjani.
“Nyai Malih Rupa,” gumamnya lirih. “Pulang dan salatlah! Lupakan yang kalian lihat, dan jangan pernah kembali ke sana jika kalian peduli dengan keselamatannya. “Sang kakek memperingatkan sambil menunjuk Anjani dengan dagunya.
Dengan perasaan menyesal karena tidak mematuhi larangan tetua desa untuk tidak mendekati rumah tua di tengah pulau ini, kami memapah Anjani pulang ke rumah salah satu warga tempat kami menginap.
Editor: Fitri Junita
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day8
#temarumahtua
Masyaallah. Super sekali… ???