By Dewi Triesnaningtyas
Negeris Asgard suatu hari.
Loki kecewa dengan orang tuanya yang lebih menyayangi anak-anak kandungnya, Balder, Holder dan Wecta, dibandingkan dengan ketujuh anak tiri mereka, termasuk dirinya.
Sejak itu, ia berniat membunuh Balder, salah satu anak kandung yang paling mereka sayangi.
Untuk memuluskan rencananya, ia mengubah diri menjadi nyamuk kecil, terbang mengitari Dewa Odin dan Dewi Frigga yang sedang berbincang hangat di Fensalir.
Loki menyebut Fensalir sebagai “Balairung Rawa”, karena terletak di rawa-rawa dekat rumah mereka.
Dewi Frigga menyesap kopi dari cangkir emas. Keduanya duduk di bangku cekung saling berhadapan.
Tak sedetikpun Loki melewatkan percakapan dan gerak-gerik kedua orang tua itu.
“Aku memberi hadiah kepada Balder tanpa sepengetahuannya!” ujar Dewi Frigga.
“Hadiah apa?” tanya Dewa Odin.
“Ia akan hidup abadi, kecuali…”
“Kecuali apa?” tanya Dewa Odin penasaran.
“Kecuali mistletoe mengenai tubuhnya,” jawab sang Ratu.
Mendengar itu, Dewa Odin tersedak dan memuntahkan kopi yang sudah ada di kerongkongannya.
“Apa?! Bagaimana bisa mistletoe menjadi penyebabnya?”
Dewi Frigga menarik nafas panjang. Diletakkannya cangkir kopi emas, berdiri dari bangku cekung lalu mendekati Dewa Odin.
“Tenanglah Sayang, mistletoe itu terlalu kecil dan tidak akan membahayakan apalagi mengancam kehidupan putra kita,” terang Dewi Frigga mantap.
Di negeri Asgard, semua mengenal Dewi Frigga. Ibu tirinya itu seorang ratu sekaligus peramal handal. Apa yang diramalnya tidak pernah meleset.
“Yang aku khawatirkan sesungguhnya adalah pengkhianatan para suku. Tapi tenang saja, aku telah berkeliling mengunjungi setiap suku di komsos, meminta mereka bersumpah untuk menjaga Balder dan tidak menyakitinya,” urai Dewi Frigga.
Dewa Odin menarik nafas lega. Balder, Dewa kebaikan itu adalah anak pertama mereka, yang akan meneruskan takhta dan pewaris kerajaan Asgard. Holder, adiknya yang buta, tentu saja tidak akan bisa menggantikan mereka. Apalagi Wecta, masih terlalu muda.
Loki, si dewa penipu dan licik itu terpingkal. Kini ia telah memegang sebuah kunci kesuksesan.
***
Di hari lain, usai membuat panah dari mistletoe kecil dan mengukirnya, Loki memanggil Holder yang sedang berjalan menuju taman.
“Hai, Holder. Mau kemana?” sapa Loki pada adik tirinya itu.
“Aku mau duduk di taman menikmati kicauan burung di pagi hari. Kakak sendiri sedang apa?”
Aku sedang mengukir sebuah panah,” jawab Loki.
“Untuk memanah siapa?”
“Balder,” jawab Loki sambil tertawa.
“Percuma kau memanahnya, tokh ia telah mendapatkan hadiah keabadian dari Bunda.”
“Betul. Oleh karena itu kita tidak perlu khawatir, kita hanya sedang bermain-main,” Loki meyakinkan Holder sambil tertawa.
Holder, saudara tirinya yang buta itu ikut tertawa.
“Ya, betul katamu, kita tidak perlu khawatir panah ini akan membunuhnya!” ujar Loki lagi.
“Aku belum pernah memanah seumur hidupku,” jawab Holder.
“Tenang, ini tidak terlalu sulit, Dik. Mau kuajari?” timpal Loki.
Loki membimbing Holder memanah Balder yang datang dengan senyum dan berdiri di pintu gerbang rumah mereka yang besar.
“Tarik, dan lepaskan dengan penuh keyakinan. Balder sedang berjalan tepat di depanmu, Dik,” Loki memberi arahan.
Holder melepaskan anak panah tanpa ragu, karena ia percaya, tidak ada yang bisa menyakiti saudaranya itu.
Fatal! Mistletoe kecil berukir menembus dada Balder yang sedang berjalan menuju mereka dan ia pun jatuh, terkapar di halaman rumah mereka yang hijau.
DHT
Editor : Indah Purwanto
#ajangfikminjoeraganartikel2021