Oleh Nita Yunsa
Azan Magrib sudah berkumandang, tetapi Dicky tidak beranjak dari halte bus. Kurasa dia takut ketinggalan bus menuju kampungnya. Ini tidak seperti biasanya karena Dicky selalu salat tepat waktu. Mungkin dia akan menjamak dengan salat Isya sesampainya di Cirebon.
Suhu udara yang mulai dingin, tidak membuat pria berusia 24 tahun itu kedinginan. Bukan karena kehadiranku yang selalu menjadi teman setia dan mampu menghangatkannya, melainkan telepon dari kampung yang membuat dia gelisah hingga tubuhnya terasa hangat saat tersentuh olehku.
Terdengar dari telepon saat berangkat kerja tadi, pamannya Dicky mengatakan bahwa ibunya sedang dirawat di rumah sakit. Sepulang kerjaโtanpa membawa pakaian gantiโDicky segera menaiki jemputan yang menuju tempat pemberhentian bus, bukan menuju kontrakannya. Beruntung dia tidak pernah lupa mengajakku pergi. Aku tidak bisa membayangkan jika tidak berada di sisinya, mungkin Dicky akan rawan masuk angin oleh udara malam di dalam bus antarkota.
Kondisi cuaca dengan awan kelam yang seolah ingin menjatuhkan airnya, membuat jalanan saat itu terasa lengang. Tidak tampak pejalan kaki, hanya beberapa kendaraan yang lewat dan seorang pria tua yang berdiri tidak jauh dari kami.
Akhirnya bus dari Jakarta menuju Cirebon datang. Dicky dan aku serta pria yang rambutnya sudah memutih itu naik tanpa berebut. Kami duduk di belakang kemudi. Beruntung rintik hujan turun setelah kami berada di dalam bus.
Beberapa saat kemudian, ketika Dicky sudah tertidur lelap di dalam bus, aku merasakan pria tua itu mulai menjamah tubuhku. Lalu, tiba-tiba dia berteriak hingga membuat Dicky terbangun.
“Ponselku hilang! Hei, anak muda! Kamu mencuri ponselku, ya?” tuduh pria tua itu hingga Dicky tersentak.
“Ayolah, Pak. Jangan bikin keributan,” timpal Dicky dengan suara lemah karena tiba-tiba terbangun dari tidur. “Mana buktinya?”
Pria itu segera menggeledah saku pakaian Dicky. Aku sontak terperangah mendapati sebuah ponsel asing ada padaku. Sejak kapan benda itu ada di sini? Sepertinya dia sengaja meletakkannya saat menjamahi lapisan tebal tubuhku tadi. Pria itu semakin berang dan terus menuduh Dicky setelah menemukan ponselnya.
“Tapi, aku tidak mengambilnya! Sejak tadi aku tidur karena kecapekan,” ucap Dicky membela diri. Aku bisa merasakan jantungnya berdetak cepat karena tuduhan berbukti itu.
Setelah beradu argumen dengan sengit, pria tua itu mengusulkan untuk menyelesaikan masalah tersebut ke kantor polisi. Dicky yang merasa tidak mencuri setuju dengan usul itu dan kami pun turun di polsek terdekat.
Saat hendak berjalan menuju polsek, tangan Dicky tiba-tiba ditahan oleh pria tua itu. Dicky seketika tercengung mengetahui pria tua itu tampak tidak marah lagi padanya.
“Maaf anak muda, aku sengaja membuatmu turun dari bus itu. Sebab kulihat semua penumpang di dalam bus itu adalah hantu. Mereka semuanya tidak ada yang memiliki kaki,” ujar pria tua tersebut.
Sementara itu, kurasakan bulu tengkuk Dicky berdiri dan dia hanya diam mematung. Pantas saja, saat keributan tadi, tidak ada penumpang yang melerai atau tertarik untuk menonton. Kami akhirnya menunggu bus lain muncul.
Esok harinya, Dicky terbaring di atas tikar dengan tubuhku sebagai bantalnya. Dia menyimak berita di televisi sambil menemani sang ibu di ruang inap rumah sakit. Bulu tengkuk Dicky sontak berdiri kembali, tatkala televisi menyiarkan berita kecelakaan bus antarkota yang wujudnya amat mirip dengan bus yang semalam kami naiki.
Indramayu, 2 Agustus 2021
Penulis : Nita Yunsa
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day18
#TemaAkuSebagaiBenda
#GenreMisteri
Editor : Fitri Junita