Oleh Nita Yunsa
Seorang pria gagah dan rupawan turun dari Perbukitan Melaya di kaki Gunung Sumbing setelah melakoni tapa brata. Wangsit yang didapatkan semalam, terus terngiang dalam pikirannya.
“Hai, Wiralodra! Apabila engkau ingin berbahagia berketurunan di kemudian hari, carilah lembah Sungai Cimanuk. Manakala telah tiba di sana, berhentilah dan tebanglah belukar secukupnya untuk mendirikan pedukuhan dan menetaplah di sana. Kelak tempat itu akan menjadi subur makmur serta tujuh turunanmu akan memerintah di sana.” Bunyi wangsit tersebut.
Raden Arya Wiralodra segera meminta restu pada ayahandanya, Tumenggung Gagak Singalodra, untuk mencari lembah yang dimaksud. Dengan didampingi abdi setianya yang bernama Ki Tinggil dan berbekal senjata Cakra Undaksana, berangkatlah mereka dari Bagelen Jawa Tengah ke arah barat untuk mencari Sungai Cimanuk.
Berbagai rintangan ditemui Raden Arya Wiralodra dalam perjalanan menemukan Sungai Cimanuk selama tiga tahun. Ia bahkan sempat mengira Sungai Citarum dan Sungai Cipunegara adalah sungai yang dicarinya. Hingga Ki Buyut Sidum dari Pajajaran hadir untuk memberi petunjuk.
“Sungai Cimanuk sudah terlewat. Kembalilah ke arah timur. Manakala menjumpai seekor kijang bertanduk emas dengan mata menyerupai intan berlian, ikutilah di mana kijang itu lenyap. Maka itulah sungai Cimanuk yang Tuan cari.”
Saat melanjutkan perjalanan, bertemulah mereka dengan seorang wanita cantik bernama Dewi Larawana. Dia memaksa untuk di persunting Wiralodra. Namun, sang raden menolak hingga membuat gadis itu marah dan menyerangnya.
Raden Arya Wiralodra mengarahkan senjatanya ke arah Larawana. Wanita itu lenyap terkena Cakra Undaksana. Bersamaan dengan itu, muncul seekor kijang. Wiralodra segera mengejar kijang itu yang lari ke arah timur. Ketika kijang tersebut lenyap, tampaklah sebuah sungai besar.
Akhirnya, Wiralodra dan Ki Tinggil membuat gubuk dan membuka ladang. Mereka menetap di sebelah barat ujung sungai Cimanuk. Pedukuhan Cimanuk makin hari makin banyak penghuninya, diantaranya seorang wanita cantik paripurna bernama Nyi Endang Darma. Alasan kedatangannya karena tempat tersebut daerah yang subur untuk bercocok tanam. Saat itu Wiralodra sedang “pulang kampung” ke Bagelen, sehingga izin tinggal dialihkan oleh Ki Tinggil.
Tanaman di ladang Endang Dharma tumbuh subur. Banyak penduduk yang datang kepadanya minta nasihat. Lalu, ia mengajarkan ilmu bertani, bahkan ia pun mengajarkan ilmu kanuragan. Pengajaran ini mengundang kemarahan Pangeran Guru dan 24 muridnya yang khusus datang dari Palembang, dan ingin mencoba kemampuannya. Meski Endang Dharma menolak, pada akhirnya terjadilah perkelahian, yang dimenangkan pihak Endang Dharma. Pangeran Guru dan 24 muridnya tewas.
Akibat peristiwa itu, Raden Bagus Arya Wiralodra yang dilapori Ki Tinggil memutuskan untuk segera kembali ke Padukuhan di Sungai Cimanuk. Ia ingin menguji kesaktian yang dimiliki Nyi Endang Darma. Terjadilah perkelahian, walaupun masing-masing ternyata menaruh rasa cinta pada pandangan pertama. Namun, Nyi Endang Darma kewalahan menghadapi serangan Wiralodra, maka dia mengakui kekalahannya. Wiralodra mengajak pulang Nyi Endang Darma untuk bersama-sama melanjutkan pembangunan pedukuhan.
Namun, Nyi Endang Darma tidak mau dan berpesan, “Jika kelak Tuan hendak memberi nama pedukuhan ini, maka namakanlah dengan nama hamba. Kiranya permohonan hamba ini tidak berlebihan karena hamba ikut andil dalam usaha membangun daerah ini.”
Kemudian, Nyi Endang Dharma menjeburkan dirinya ke Sungai Cimanuk. Untuk mengenang jasa orang yang telah ikut membangun pedukuhannya, maka pedukuhan itu dinamakan Darma Ayu yang di kemudian hari menjadi Indramayu.
Indramayu, 28 Juli 2021
Penulis : Nita Yunsa
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day15
#TemaAsalUsulSebuahTempat
Editor : Fitri Junita