Alangkah riangnya hati, hari ini aku akan bertemu dengan orang yang sudah lama kunanti. Dia janji akan menemuiku di Kafe Biru, sekitar jam tiga sore bakda salat Asar. Aku masih punya waktu sekitar tiga puluh menit untuk ke sana.
Tadinya aku tidak percaya hal itu, tetapi semua nyata adanya. Arga, anak grafis, mengajakku bertemu. Satu lagi yang membuatku senang, cowok itu melakukan bukan karena orang lain, bukan juga disebabkan aku yang meminta. Sungguh, bunga-bunga seakan memenuhi dada.
“Wooii! Jalan pakai mata!” teriak seseorang yang hampir saja kutabrak mengagetkan. Aku terlonjak dan hampir jatuh.
Terbayang di benakku andai aku tadi terjatuh. Ah, betapa malunya! Sambil tersenyum cengar-cengir aku segera meminta maaf kepada orang itu.
“Tunggu, Din!” seru sebuah suara memanggil. Langkahku seketika terhenti dan mencari sumber suara itu.
Uh, Putri Kampus! Kartika Dirgahayu Merdekawati. Gadis itu melambaikan tangannya. Terpaksa aku menunggu Kartika, sahabat sekaligus teman satu jurusan di desain interior dan satu kamar indekosku. Sementara batinku menggerutu karena kesal.
โApakah aku harus mengajaknya juga? Bagaimana kalau Arga tidak suka?โ
***
Setelah berjalan menyusuri trotoar di samping kampus, tibalah aku dan Kartika di Kafe Biru. Dari jauh sudah terlihat sosok Arga yang sedang duduk di pojok kafe sambil membaca buku.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Mencoba menata hati yang berdebar tidak karuan. Kulirik Kartika yang sibuk memainkan ponselnya, berharap dia tidak menangkap kegugupan yang menyerangku.
“Tik, aku ada urusan penting dulu sama Arga. Kamu nggak pa-pa โkan kalau duduk sendiri? Atau mau bergabung sama teman yang lain?” tanyaku pada Kartika setelah batinku agak tenang. Gadis itu menoleh dan menatapku heran.
“Sejak kapan kamu ada urusan berdua dengan Arga? Wah, jangan-jangan kalian sudah jadian, ya?” ucapnya balik bertanya.
Geregetan, spontan kucubit lengan Kartika. Dia meringis sambil tergelak menggodaku yang mulai salah tingkah. Tanpa permisi, langsung kutinggalkan Kartika begitu saja.
Hampir semua warga kampus mengenal Kartika. Temannya pun banyak di sana-sini. Aku tidak perlu khawatir terhadapnya. Kuhampiri cowok cool itu sembari menyembunyikan gejolak perasaan yang muncul.
“Hai, Ar! Sudah lama menunggu?” sapaku langsung duduk di kursi kosong di depan Arga.
“Belum. Paling baru sepuluh menit, kok,” jawabnya menyuguhkan senyum magis yang membuatku kelimpungan.
“Mau pesan apa?” tanyanya, sesudah menyodorkan buku menu yang tersedia di meja. Terus terang, aku bingung mau pesan apa. Bagiku, semua makanan menjadi enak bila berada di dekat Arga. Akhirnya, banana split dan jus jeruk sebagai pilihan menu berdua.
***
“Din. Sori, ya! Aku mengajakmu ketemuan di sini,” ucapnya memulai pembicaraan.
“Nggak pa-pa kok, Ar,” jawabku meyakinkannya.
“Jawab pertanyaanku dengan jujur ya. Jangan ada yang kamu tutupi.” Kulihat resah berkelebat di mata Arga. Cowok itu menatapku ragu.
“Tolong ceritakan tentang Kartika. Apa saja yang kamu tahu. Termasuk cowok-cowok yang dekat dengan dia,” pinta Arga dengan tatapan penuh harap dan antusias.
“Kartika?!” ucapku spontan karena terkejut. Hampir saja aku tersedak mendengar pertanyaan Arga.
Tiba-tiba aku teringat pada Kartika yang sedang berada di kantin itu juga. Sedang apa dia? Di sebelah mana dan dengan siapa? Semoga saja dia tidak mendengar apa yang kubicarakan.
“Iya. Kalian kan bersahabat. Masa, sih, kamu tidak tahu?” sahut Arga kemudian.
‘Aku bukannya tidak tahu, Arga. Masalahnya kamu sudah membuatku patah hati. Kuharap kamu menanyakan keadaanku atau apa saja tentang diriku, bukan Kartika,โ keluh batinku kecewa.
Arga masih tampak menunggu jawabanku dengan sabar. Tidak sedikit pun ia menaruh curiga padaku yang hanya mengulur-ulur waktu.
“Apakah itu penting buatmu, Ar?” tanyaku menahan emosi jiwa yang mulai merasuk. Aku benar-benar malas menjawab pertanyaan Arga dan ingin segera menyudahinya. Aku menyesal telah datang ke kafe itu.
“Kamu kenapa, sih? Tidak suka berteman denganku, ya? Katanya mau menolong? Bagaimana bisa menolong kalau ditanya saja tidak menjawab,” ujar Arga tampak kesal.
Aku kian bingung menyikapi Arga. Mulut seperti terkunci dan lidahku kehilangan kata-kata. Tidak ada sedikit pun hasrat menjelaskan tentang Kartika. Arga lebih bingung lagi. Dari tatapannya ia tidak mengerti dan bertanya-tanya.
“Dinda. Ngomong, dong. Jangan diam saja. Aneh sekali kamu ini. Kamu lupa tadi siang sudah berjanji siap membantuku? Sekarang, buktinya apa? Kamu marah? Tersinggung? Atau sakit gigi?” protes Arga memberondongku dengan banyak pertanyaan.
“Dinda … Din.” Arga penasaran dengan perubahan sikapku.
Merasa kupermainkan, Arga bergegas menyambar tas dan kunci motor. Tanpa pamit ia berjalan cepat menuju tempat parkir dan mengendarai motornya. Sejenak aku melongo menyaksikan kepergian Arga yang tidak terduga itu. Pikirku ia akan sabar menunggu hingga aku sanggup memberikan penjelasan.
Aku terengah-engah mengejar Arga yang berlalu bersama motornya. Sambil berlari aku berteriak memanggil-manggil namanya. “Arga, tunggu!”
Sia-sia saja usahaku. Arga terus melaju dan menghilang di ujung jalan. Aku terduduk dalam kepasrahan.
Saat aku masih tenggelam dalam suasana kalut, tiba-tiba seseorang menepuk bahu berulangkali dan memanggil namaku.
“Din … Din … ada apa? Bangun! Nanti kesiangan, lo! Mau kuliah, nggak?” Suara lamat-lamat itu makin terdengar jelas. Bagai disiram air seember aku terlonjak bangun.
Alhamdulillah, ya Allah. Ternyata yang kualami hanya mimpi. Aku ingin cepat-cepat pergi ke kampus dan bertemu Arga.
Bandung, 18 September 2019