By Dewi Triesnaningtyas
Zainab dan Fatimah memang duduk saling berhadapan, tetapi mata mereka tidak saling bertatapan. Zainab tahu, tidak mudah untuk membawa Fatimah menghadap Papa.
Keduanya membisu. Tak ada percakapan. Fatimah menyesap capuccino latte di hadapannya. Melihat Zainab hari ini darahnya mendidih. Terbayang wajah Mbak Nur, perempuan yang mengkhianati Mama. Juga Papa yang telah lama tak ingin didengar kabarnya. Mengapa hari ini, Zainab harus hadir membuka luka lama.
“Kak, tolong, datanglah ke rumah. Papa ingin bertemu dengan Kakak. Sebentar saja!” Gadis berkerudung hitam itu kembali memohon pada Fatimah.
Fatimah tidak memperhatikan apa yang diucapkan oleh Zainab. Ia justru memanggil Randy, karyawannya di Khadijah Center.
“Tolong tanya adik di depan saya ini, dia mau makan dan minum apa,” kata Fatimah seraya menatap Zainab yang usianya barangkali berjarak lima tahun darinya.
“Saya tidak mau apa-apa. Saya hanya ingin kakak segera menemui Papa!” tegas Zainab lirih.
Randy mundur teratur setelah pandangan Fatimah menyakinkan bahwa memang Zainab memang tidak menginginkan apapun.
Tak disangka, Zainab bangkit, lalu berjongkok. Ia memegang kaki Fatimah.
“Kak, tolong! Aku berjanji akan melakukan apa pun asal kakak datang meskipun sekali saja!” Kali ini air mata Zainab luruh.
“Tidak! Katakan kepada laki-laki tua itu, aku tidak akan menemuinya. Sekarang pulanglah!” Fatimah menghalau Zainab. Ia berusaha melepaskan tangan Zainab dari kakinya.
“Randy! Tolong usir anak ini dari kantor kita!”
Fatimah lega begitu Randy melaksanakan perintahnya.
Ponsel Fatimah berdering saat ia masih mengamati tangisan Zainab dari kaca tembus pandang.
“Ya, Ma!”
“Fatimah, apakah Zainab ada di sana?” Suara mamanya, perempuan lemah menurut Fatimah, terdengar lirih.
“Sudah kuusir, Ma!”
“Astagfirullah. Mama yang memintanya menjemputmu. Papa sakit keras, Nak. Setiap hari ia mengigau memanggil namamu!”
“Sudah lama aku tidak punya papa. Mama jangan bermimpi aku akan menemuinya!”
Fatimah memutus sambungan telepon. Ia tidak ingin ada air mata. Ia tidak ingin ada rasa bersalah di hatinya. Mama dan Papa sama saja.
“Hati Mama sok mulia! Mama masih juga menjenguk suami yang sudah menduakan cintanya, menyayangi madu dan anak tirinya. Papa, Mama, Mbak Nur, maupun Zainab, semua menorehkan sembilu di hatiku. Aku tak mau peduli lagi kepada mereka!” Fatimah menggumam marah.
Ponsel Fatimah kembali berdering. Meskipun mamanya berulang kali mencoba menghubungi, Fatimah tetap abai. Setelah itu, ada panggilan masuk dari Ismail, adiknya. Dengan enggan, ia menggeser simbol gagang telepon kecil di ponselnya.
“Ya, Dek!”
“Kak, Papa … !”
“Aku tahu. Kamu mau mengatakan jika Papa ingin bertemu Kakak. Begitu, kan?”
“Kak … !” Suara Ismail terisak.
“Sudah, ya, Dek. Kakak mau bekerja. Ada banyak pekerjaan. Tidak ada waktu lagi untuk mengurus hal-hal sepele seperti ini!”
Fatimah yakin, Ismail juga akan memintanya menemui Papa. Ia memilih menonaktifkan ponselnya, lalu pulang ke rumah.
Sejak papanya mengkhianati mamanya serta menelantarkan Fatimah dan Ismail, sejak itu pula ia tak punya hati untuk laki-laki yang pernah menjadi cinta pertamanya itu.
Fatimah masih belum mampu merenda kata maaf, apalagi ikhlas ketika sebuah kabar duka datang sesaat setelah ia memutuskan untuk kembali menghidupkan ponsel.
Meskipun begitu, air matanya luruh juga saat melihat foto jasad papanya yang dikirimkan oleh Ismail.
*DHT*
Editor Saheeda Noor
#ajangfikminjoeraganartikel2021
#genreyoungadult
#temaikhlas
#day10