Titik Jeha
Tini menikmati secangkir kopi susu panas di warung Mak Icah, ditemani gigitan demi gigitan tempe goreng kesukaannya. Pikirannya melayang pada Surti, anak gadisnya yang kini sedang sakit.
Bagaimana keadaan Surti sekarang, ya? batinnya.
Semalam, Tini sudah memeriksakan Surti ke Dokter Henri. Hasil diagnosa sementara adalah gejala tifus. Tini harus menunggu beberapa hari untuk mengetahui apa penyakit Surti. Apakah semakin membaik atau malah sebaliknya.
“Obatnya diminum, ya, Sur!” pesan Tini.
Kalau saja Surti mau tinggal sementara waktu dengannya sampai kondisi badannya pulih dan sehat, mungkin Tini tidak terlalu khawatir. Maklumlah, sebagai ibu, dia ingin memastikan bahwa anaknya baik-baik saja.
“Surti tinggal sama ibu dulu, ya,“ bujuknya, sambil membelai kerudung gadis itu yang tiduran di pangkuan. Surti menggelengkan kepala.
“Enggak, Bu. Terima kasih. Nanti Bapak marah-marah lagi, aku jadi tambah pusing,” keluh Surti manja.
“Ya, sudah. Enggak apa-apa. Tapi, kabari Ibu terus, ya, sayang,” kata Tini.
Dipeluknya tubuh Surti yang terasa panas itu dengan segenap kasih sayang, seolah mencoba memberikan kekuatan.
Sabar, ya, Nak. Kita pasti bersama lagi, batin Tini.
Baru tiga hari Tini menjalani kesendirian setelah ditalak Suryo. Ingatannya masih segar pada peristiwa dua hari lalu yang menyakitkan. Tatkala harga dirinya tak lebih dari seonggok sampah yang pantas untuk dibuang bagi seorang Suryo.
Tini baru pulang dari belanja di pasar. Masih di teras rumah, belum sempat duduk apalagi membuka pintu. Belanjaan masih tertenteng di kedua tangannya.
“Dari mana kamu?!” teriak Suryo yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang Surti. Ia melonjak kaget.
“Astagfirullah,” ucapnya mengelus dada.
Belum sempat menjawab, tangan Suryo telah lebih dulu menyeretnya masuk ke dalam rumah.
“Duduk!” teriak Suryo lantang.
Dicengkeramnya kuat-kuat kedua bahu Tini dalam amuk kemarahan. Wajahnya memerah, matanya menyala seolah ingin membakar habis perempuan yang sudah sepuluh tahun dinikahinya itu. Badan Tini yang gemetar dan ketakutan tak dihiraukannya sama sekali. Diambilnya Alquran di rak buku dekat televisi.
“Bersumpahlah, demi Allah, kamu baru saja kencan dengan laki-laki di sebuah kafe,” kata Suryo tegas sambil memegang kitab suci itu di atas kepala Tini.
Perempuan itu menatap keheranan pada laki-laki yang berdiri dihadapannya. Dia merasa bingung dengan apa yang baru saja didengarnya. Mengapa suaminya mendadak datang dan marah? Dia harus bersumpah? Kencan? Bertumpuk pertanyaan berseliweran di kepala. Bibirnya bergetar ingin mengatakan sesuatu.
“Tak perlu protes. Akui saja, selesai. Enggak usah tanya macam-macam, aku sudah punya bukti dan saksi,” ucap laki-laki itu dengan geram.
Tini menunduk, terguguk. Air matanya menitik, meluncur membasahi baju dan kerudung yang dipakainya. Isaknya tertahan. Luka batin menganga di sekujur tubuhnya. Berdarah. Dia sama sekali tak diberi kesempatan untuk membela diri.
“Tapi, Mas. Aku tidak melakukan apa yang kamu tuduhkan. Aku hanya ke pasar, belanja, setelah selesai langsung pulang,” tukas Tini di antara isak tangisnya.
“Simpan saja tangisan palsumu. Aku tidak butuh penjelasan. Mendingan akui saja perbuatan itu. Jangan memperkeruh keadaan, sebelum aku hilang kesabaran. Cepat!” teriak Suryo mulai kalap.
“Demi Allah, aku tidak berbuat seperti itu, Mas. Akan kubuktikan,” ucap Tini sambil menyeka airmatanya.
“Terserah, apa katamu. Bagiku tak ada artinya. Saat ini juga kamu aku talak tiga dan segeralah pergi tinggalkan rumah ini. Biarkan Surti bersamaku. Masalah surat-surat biar aku yang urus,” tukas Suryo dengan ketus.
“Baiklah, jika itu keputusanmu, Mas,” jawab Tini lirih, sesenggukan.
Perempuan itu berdiri perlahan menuju kamar mengemasi barang-barangnya. Hanya sekoper kecil berisi dokumen penting dan beberapa lembar pakaian.
***
Seminggu telah berlalu. Siang itu Tini menyambangi rumah Suryo, ditemani Mbak Wanti, kakak kandung mantan suaminya. Ada beberapa barang penting miliknya yang belum terbawa.
Rumah itu tampak sepi. Hanya sesekali terdengar suara orang tertawa lirih dari ruang utama di atas. Untung saja pintu rumah tidak terkunci, sehingga kedua perempuan itu bisa masuk ke dalam dengan leluasa. Ada yang janggal, mereka melihat sepasang sandal perempuan dewasa tersembunyi di bawah sofa.
Tidak sabar Mbak Wanti mengajak mantan adik iparnya itu ke atas, tapi Tini menolak. Ia memilih menunggu di bawah karena tidak mau menuai masalah dengan mantan suaminya.
Sebentar kemudian terdengar keributan kecil di atas yang disusul Mbak Wanti turun bersama Suryo dan seorang lagi, Rina, anak gadis tetangga sebelah rumah. Tini tertegun menyaksikannya.
“Dengar ya, Sur! Istrimu tidak bersalah. Aku yang mengajaknya ke pasar. Dan selama di pasar sampai pulang dia selalu bersamaku. Kamu salah telah memfitnahnya. Taubat dan minta maaflah sebelum kena azab. Dan kamu, Rina, sudah puas bisa merusak rumah tangga orang? Tidak tahu malu!” Sepasang kekasih itu tertunduk, mukanya ditekuk dalam-dalam.
“Tini, segera ambil barang-barangmu dan kita pergi dari sini. Muak aku melihat muka mereka berdua,“ ucap Mbak Wanti menyuruh mantan adik iparnya itu bergegas.
Bandung, 10 Januari 2019