✍️ WienPurwandini
Ratri memandang arakan-arakan awan tipis yang tertiup angin. Membuatnya berubah bentuk setiap saat. Kadang bergerombol, sebentar kemudian berpencar lalu kembali mendekat. Seperti anak-anak kecil yang sedang bermain kejar-kejaran. Beberapa menjauh, lalu yang lainnya berusaha mendekat sehingga gelaran alam di kanvas biru terang maha luas itu membuat Ratri tersenyum dari tempat ia duduk di samping jendela.
“Assalamualaikum, Cinta.”
“Wa’alaikumussalam,” jawab Ratri sambil mengalihkan pandang ke arah suara itu berasal.
“Lihat apa yang kubawakan untukmu. Kau pasti suka,” ujar seseorang yang sudah berdiri di ambang pintu. Ia membawa sebuah buku dan dua batang cokelat.
“Ah, kau selalu membuatku terkejut dan berbunga-bunga,” ujar Ratri dengan ekspresi bahagia.
Lelaki itu mendekati Ratri lalu duduk di sebelahnya.
“Itu karena aku mencintaimu,” bisiknya.
Ratri tertawa. Diterimanya dua batang cokelat dan buku yang dibawa Arsya, lelaki yang sudah hampir enam bulan ini mengisi hari dan hatinya. Arsya yang selalu berusaha menyenangkannya dengan memberikan kejutan-kejutan setiap ia datang.
“Bagaimana harimu, Arsya? Ceritakan padaku!” ujar Ratri antusias.
“Seperti biasa, Sayang. Pekerjaan cukup menyita waktuku. Apalagi sekretaris baru itu masih menyesuaikan diri dengan irama kerjaku.”
“Tapi kau menyempatkan datang,” kata Ratri sambil tersenyum.
“Justru aku datang karena aku selalu merasa lebih baik jika berada di dekatmu.”
“Ah, kau berlebihan, Arsya,” bisik Ratri dengan wajah memerah.
Dan sore itu mereka habiskan dengan mengobrol tentang banyak hal. Dan ketika senja turun, Arsya berpamitan pulang. Ratri memandangnya keluar melalui pintu. Entah mengapa seketika itu pula ia merasa rindu.
Arsya semakin membuat Ratri paham tentang cinta sejati. Cinta yang ia miliki untuk Arsya dan ia yakin Arsya pun memilikinya dan itu hanya untuknya.
“Kau serius tentang hubungan kita?” tanya Ratri pada suatu waktu yang lain.
“Yakin! Aku sangat yakin, Sayang. Mengapa kau selalu menanyakan itu?”
“Entahlah, aku hanya ingin selalu meyakinkan diriku. Aku takut karena aku … ”
“Bisakah kau tak mengatakan itu lagi? Percayalah dengan apa yang aku katakan,” ujar Arsya.
Siang ini Ratri memandang hujan melalui jendela di sampingnya. Hujan yang turun sejak pagi.
Sepekan lalu Arsya datang menemuinya. Seperti biasa membawakan kejutan manis. Saat itu Arsya <span;>menatapnya dalam-dalam.
“Jangan pergi! Atau paling tidak katakan padaku bila kau berniat meninggalkan aku.”
“Baiklah, akan aku ingat itu,” sahut Ratri sambil tersenyum.
Ia bertekad memenuhi permintaan Arsya dan menepati janjinya.
Namun sejak saat itu Arsya belum datang lagi menemui Ratri. Bahkan nomornya pun tak aktif lagi.
Ratri menghela napas sambil memandang hujan yang kian deras. Ia menyadari bahwa Arsya, lelaki yang memintanya untuk tidak pergi itu telah pergi entah kemana. Lelaki itu meninggalkannya tanpa pesan. Membiarkannya menunggu di samping jendela ruang perawatannya seperti biasa.
Walau hatinya perih, Ratri mencoba memahami dan memaklumi jika Arsya akhirnya pergi. Tentu Arsya tak akan bisa bersamanya yang sudah berbulan-bulan terbaring sakit.
Sebuah ketukan terdengar di pintu. Dua orang berseragam putih masuk dan berkata, “Mbak Ratri, kita ke ruangan kemoterapi sekarang, ya!”
Ah, hidup memang kadang tak seperti yang diharapkan. Cinta bisa datang pada siapa saja. Namun siapa saja berhak memilih melanjutkan cintanya atau tidak. Dan Ratri kembali sendiri menghitung waktu.
Editor : Ruvianty
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#day7
#romance
#ghosting