Aku memandangi selembar kertas yang ada di tanganku, membaca berulang-ulang. Ada sebuah foto ukuran 4R di belakangnya. Kertas ini berisi biodata laki-laki yang akan menjadi calon suamiku. Mbak Ningrum, sosok keibuan yang menjadi guru mengaji, memberikan kepadaku hari ini selepas kajian rutin.
“Hana, silakan kamu pelajari dan bicarakan dengan keluargamu. Kami menunggu jawabanmu dua minggu lagi, ya.” ucap Mbak Ningrum kepadaku.
“Insyaallah Mbak.”
Terus terang dadaku berdegup kencang saat melihat biodata ini. Nanti malam, aku akan menyampaikan hal ini kepada orang tuaku.
“Kamu sudah pernah bertemu dan kenal dengan laki-laki ini apa belum, Han?” tanya Bapak mengawali pembicaraan.
“Hana pernah bertemu beberapa kali, tapi tidak begitu mengenalnya. Namun, dari informasi yang di berikan oleh Mbak Ningrum, laki-laki ini adalah sosok yang baik dan saleh.” Aku berusaha menjelaskan kepada Bapak.
Tampak Bapak membaca biodata itu dengan serius sambil sesekali melihat foto yang ada di belakangnya. Ibu pun menghampiri Bapak, ikut melihat dan mengamati foto itu.
“Kalau kamu sudah yakin, Bapak tinggal merestui.” Bagaimana, Bu?”
Ibu hanya mengangguk.
“Kita orangtua hanya bisa mendoakan yang terbaik buat kamu, Han,” ucap Ibu pelan.
Aku pun langsung sujud syukur mendengar keputusan kedua orang tuaku. Aku rasa, besok pagi sudah dapat memberikan jawaban kepada Mbak Ningrum.
Dua bulan kemudian aku menikah dengan Mas Rio, laki-laki yang dikenalkan Mbak Ningrum kepadaku. Dia telah menjadi suamiku kini. Pekerjaannya adalah seorang arsitek sebuah perusahaan konstruksi di kota kami.
“Selamat pagi, Sayang,” sapa Mas Rio mesra
“Selamat pagi, Mas.”
Aku membalas sapaannya dengan senyuman paling manis. Kami berdua tertawa bersama.
Mas Rio ternyata adalah sosok yang lembut hatinya, tidak pernah marah, dan selalu mengalah dalam banyak hal. Meskipun agak cuek.
Di minggu pertama pernikahan, kami masih saling mengenal sama lain karena belum pernah menjalin hubungan dekat sebelumnya. Ini menjadi hal yang menyenangkan bagi kami. Ibarat orang pacaran, tapi dilakukan setelah menikah.
Kami mulai beradaptasi, saling mengenal sifat dan watak masing-masing.
Setiap pagi sebelum berangkat bekerja, dia selalu mendaratkan kecupan manis di keningku. Terkadang sepulang kerja, dia membelikan pempek-pempek kesukaanku. Mengabari setiap kali dia harus pulang terlambat karena lembur dan membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sebelum dia berangkat.
“Maafkan Mas ya Han, kalau ada sifat dan kelakuanku yang kurang berkenan di hatimu. Kita belajar bersama dalam mengarungi rumah tangga ini.”
Begitulah, kata-kata yang sering di ucapkan Suamiku. Aku pun merasa senang karena dia adalah tipe laki-laki yang terbiasa berdiskusi dalam menyelesaikan masalah.
“Iya, Mas, kita sama-sama saling mengingatkan jika ada yang salah.”
Hampir setiap hari kami mengisi hari-hari dengan bercerita. Terkadang, ada hal-hal yang membuat kami tertawa, bahkan saling ejek dan juga menangis.
Ada kata-kata yang sangat aku sukai dari suamiku, yaitu dia mencintaiku karena Allah. Aku bahkan berurai air mata saat dia membisikkannya di telingaku, setiap malam menjelang tidur.
Mungkin, kehidupan kami sebagai suami istri memang baru dimulai. Harapan-harapan yang indah dan berwarna menjadi impian kami. Selama ada Mas Rio di sampingku, aku tidak akan ragu lagi dalam melangkah dan melewati semua rintangan yang ada.
“Teruslah menjadi sandaran dan penyemangat dalam hidupku, sayang.”
Aku membisikkan kalimat itu pelan di telinganya, saat kami duduk berdua di teras rumah menikmati suasana sore yang tenang.