Joeragan artikel

Menarilah Hanya Untukku

Morning Mr.Halim,” sapa Erika.

Gadis cilik putri tetanggaku itu melambaikan sebelah tangannya seraya menenteng sepasang sepatu balet pada tangannya yang lain. Kubalas, berikut menghadiahkannya senyum manis dari balik jendela besar kamarku yang menghadap ke jalan. Sepenggal kenangan masa kecilku seketika menghampiri.

Lima belas tahun yang lalu. Aysh, gadis cilik berparas ayu yang tinggal di sebelah rumah orang tuaku datang mengadu seraya tersedu.

“Kenapa menangis?” tanyaku.
Dia mengangkat wajahnya sekilas, kemudian melanjutkan isak tangisnya sambil menjatuhkan kepala di dadaku.

“Ayah marah karena enggak suka Aysh menari. Aysh disuruh keluar dari klub tari dan gak dikasih izin tampil saat perpisahan nanti. Ayah bilang, seharusnya Aysh malu karena akan berlenggak lenggok di depan banyak mata,” ujarnya frustasi.

“Tapi Ko, Aysh bener-bener suka menari, suka banget!”

Kembali ia menangis di dadaku, sementara aku hanya bisa mendengarkan keluh kesahnya, menenangkan sambil membelai rambutnya yang harum.

“Ayahmu pasti punya alasan, Aysh …,” bisikku perlahan.

Aku mengerti mengapa Haji Shalih tidak suka putrinya menari di atas panggung. Menarik perhatian, pamer aurat, mengundang syahwat, dan masih banyak alasan lain yang sudah bisa kutebak ke mana arahnya.

Well, kalau boleh jujur, sebenarnya saat itu aku juga tidak rela tubuh Aysh dinikmati orang lain saat mementaskan tarian, walau atas nama pesta perpisahan sekalipun. Sebut saja aku seorang anak laki-laki jangkung yang posesif, meski hubungan kami tidaklah lebih dari sekadar sahabat. Haji Shalih selalu menekankan tidak ada pacaran sebelum pernikahan dan itu harga mati untuk semua putra putrinya, termasuk Aysh kecil tentu saja.

Aku menatap gadis berusia dua tahun lebih muda dariku itu dengan lembut, sembari bertanya, “Aysh, masih ingin menari?” Tangisnya mereda, ia mengangguk.

“Suatu hari nanti, Aysh bisa menari sepuasnya. Kapan pun, tapi … “

“Tapi apa, Ko?” kejarnya.

“Tapi, hanya aku yang boleh melihat kamu menari,” tegasku. Mata Aysh melebar, wajahnya merona.

***

Aku mengingat utuh pembicaraanku dan Aysh, saat ia masih duduk di kelas lima SD. Sekolahnya akan mengadakan perpisahan untuk kelas enam dan ia terpilih menjadi salah satu penari yang akan mengisi acara.

Diam-diam Aysh memang mendaftar ikut klub tari di sekolahnya. Tak jarang ia memintaku mengantar latihan dan sering kali aku menungguinya sambil menikmati gerakan demi gerakan yang ia bawakan dengan manis dan gemulai.

Gadis itu.
Kini ia telah rapi menutup dirinya dengan hijab syar’i dan menjaga sikapnya dengan semua lawan jenis termasuk aku.

Aku tak tahu, apakah obsesinya pada aktivitas menari masih sekuat yang dulu. Hmm, seingatku ia masih sesekali curi-curi kesempatan untuk unjuk kebolehan melepaskan hasrat pada hobi menarinya itu.

Terkadang ia menari di bawah pohon depan rumahnya, pernah juga ia menari di halaman belakang rumahku atau studio tari di sekolah.

Tak jarang aku latah ikut Aysh menari dan bertindak layaknya pasangan tarinya. Biasanya dia akan marah saat aku berulang kali tak sengaja menginjak jari kakinya. Dia lalu ngambek dan mulai mencubiti aku sambil berpura-pura memasang tampang galak, menggemaskan sekali.

Di kesempatan lain aku berusaha lebih berhati-hati dan yang ada, beberapa kali aku kehilangan keseimbangan lalu jatuh di atas tubuh mungilnya. Tentu saja ia jadi panik dan menjerit histeris saat aku berpura-pura kehilangan kesadaran seraya memeluknya, hahaha, wajah merah ketakutan itu, bagaimana bisa aku lupa. 

Namun, gadis jelita itu memintaku melupakannya. Mengikhlaskan ia berbahagia dengan lelaki lain yang diridai oleh orang tuanya. Tak peduli seberapa besar rasa yang kumiliki untuknya, dia tak pernah berani membalas rasa itu selama aku belum melafazkan dua kalimat syahadat seperti yang disyaratkan oleh ayahnya.

Aku belum bisa.


Kumohon bersabarlah hingga saat itu tiba. Apakah aku terlihat seperti pengecut yang begitu takut kehilangan segala yang ada di dalam genggamanku, jika memilih hidup dengannya?

Namun, pertanyaan terbesarku sebenarnya adalah kuatkah aku kehilangan dia, merelakannya dimiliki oleh pria lain yang memang lebih pantas untuk membahagiakannya?

Dapatkah aku melanjutkan hidupku setelah aku melepasnya? Sementara keyakinannya sepenuhnya telah merasuk dalam jiwaku, bahkan telah menjadi keyakinanku sejak aku mulai belajar mendalaminya beberapa tahun lalu.

Sembari mendekap kitab suci yang mulai rutin kubaca setiap pagi, kualihkan pandangan pada sebuah foto yang dikirim Maya, sepupunya. Tangkapan kamera mengabadikan kebersamaannya dengan lelaki bernama Farell Hamka. Dia putra dari sahabat Haji Shalih, yang meminta Aysh menjalani ta’aruf tadi malam.

Saat ini, masihkah kamu ingin menari seperti dulu, Aysh?
Masihkah ingin menari hanya untukku saja?

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami