Joeragan artikel

Memilih Kebebasan

Pemandangan kota di malam hari yang dilihat dari atap hotel tempat Antoni menginap begitu tampak indah. Gemerlap lampu mewarnai sketsa yang sedang diamatinya. Sejak dulu memang pemandangan menakjubkan ini hanya bisa dinikmati ketika bulan muncul. Terlebih jika rintik hujan tidak datang.

Antoni berdiri di tepi atap hotel. Di tangannya terdapat gawai yang berulang kali berbunyi. Nama peneleponnya masih sama. Siska.

Dia hanya melirik sebentar benda pipih tersebut. Dalam keadaan sadar, gawai itu terlepas dari genggamannya. Tanpa rasa bersalah, Antoni hanya menatapnya jatuh.

Dia kini menghela napasnya. Kedua tangannya kini masuk ke dalam saku jaket yang sedang dikenakan pria tersebut. Pandangan matanya menatap lurus lukisan kota malam ini. Kosong.

 

Kedua tangannya kini masuk ke dalam saku jaket yang sedang dikenakanya. Dalam lamunan, dia kembali teringat peristiwa yang sudah dialaminya. Masa kecilnya tidak begitu bahagia. Kekerasan dalam rumah tangga menghiasi tumbuh kembangnya. Begitu pun kala memasuki usia remaja.

Entah berapa kali dia menjadi korban perundungan di sekolah. Meski berulang kali memaksa pindah sekolah kepada ibunya, wanita itu selalu menolak karena takut menghadapi kemarahan sang suami. Hal itu memaksa Antoni kembali bertahan.

Selepas lulus dari bangku kuliah, impian satu-satunya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi itu harus terkubur. Sang ayah yang sejak dulu kerap memukulnya itu telah pergi. Sayangnya, ketika laki-laki brengsek itu mati, dia meninggalkan utang besar yang dipinjamnya dari rentenir. Hal itu membebani kehidupannya dengan sang ibu yang harus mati-matian bekerja mencari uang demi melunasi utang.

Atasannya, yang tahu bagaimana kondisi keuangan, sering kali berbuat tidak adil kepadanya. Dengan alasan bahwa dia butuh banyak uang, pemimpin di tempat kerjanya itu selalu menyuruh dia mengerjakan pekerjaan di luar batas kemampuan. Bahkan meski dia terluka karena terlalu lelah bekerja, Antoni harus menahan diri di hadapan orang yang telah mempekerjakannya itu.

Kini dia lelah. Ingin berhenti. Muak dengan semua kemalangan yang selalu menimpa hidupnya. Sejak dulu tidak ada satu pun orang yang menyayanginya. Bahkan wanita yang telah melahirkannya pun menyesal dengan keberadaan Antoni.

Matanya menatap pemandangan jalan raya yang berada di bawah gedung hotel dari atap tempatnya menginap. Di dalam hati, dia bertanya, “Apakah akan ada satu orang yang menyadari kematianku jika meloncat dari atap hotel ini? Apakah ada yang menyesali pilihanku untuk mati?

Bip. Bip. Bip.

Suara alarm dari jam beker di atas nakas membangunkan Antoni dari mimpinya. Pukul dua dini hari. Tubuh basah oleh keringat. Jantungnya berdegup kencang. Walau hanya bunga tidur, bagi Antoni, ketika tubuhnya melayang jatuh dari atap hotel begitu nyata.

Gawainya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari Siska.

[Tidak apa jika kamu merasa lelah. Berhenti sejenak, kemudian bangkit lagi. Teruslah bertahan. Tidak peduli seberapa besar kamu melakukan kesalahan, cintai dirimu. Karena kamu berharga.]

RAE

Editor : Dina Ananti

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami