By Dewi Triesnaningtyas
Ambar merutuk keputusan Bayu menebus rumah keluarga besarnya. Ia tidak tega jika rumah masa kecilnya itu jatuh ke tangan orang lain.
“Tetapi, Mas. Aku keberatan jika kau menebus rumah itu!” Berkali-kali Ambar menyampaikan keberatannya. Dan, berkali-kali pula ia menenangkan Ambar.
“Coba pikirkan, jika anak-anak kita membuang kenangan masa kecil di rumahnya sendiri kelak. Apakah kau tidak bersedih, Sayang?!” Bayu memberi pandangannya agar Ambar memahami maksud dan tujuan membeli rumah keluarga mereka.
“Tidak, Mas. Kenangan itu abadi di dalam hati. Bukan bentuk fisik. Kamu harus move on, Mas!” Ambar terus berargumentasi.
“Seperti aku. Kenangan tentang rumah dan masa kecil kami akan terus kubawa sampai kini. Ikhlaskan, Mas. Aku lebih setuju rumah itu dijual kepada orang lain!”
Ambar masih kekeuh.
“Tidak! Bagaimanapun juga aku tidak akan menjualnya pada orang lain. Aku yang akan membeli kenangan atas masa kecilku!”
Hingga hari ini, perdebatan antara keduanya selalu menemui jalan buntu.
*
Mobil Ambar masuk ke dalam gerbang bertuliskan -“Rumah ini dalam pengawasan Bank”- yang dibuka oleh Pak Iman. Mobil masih melaju melewati kolam ikan berbentuk lingkaran dengan pemandangan air mancur di tengahnya. Ia berbelok sedikit ke kiri dan berhenti tepat di depan garasi.
Pak Iman, penjaga rumah tergopoh-gopoh menghampiri.
“Non, mobilnya tidak mau masuk garasi saja?” tanyanya sopan.
“Enggak usah, Pak!” jawabnya kepada Pak Iman.
“Mas Bayu sudah datang belum, Pak?” ujarnya seraya mengunci pintu mobil.
Ia belum sempet mendengar jawaban Pak Iman ketika ponselnya berdering.
“Halo, Mas!”
“Sayang, apakah saudara-saudaraku sudah berkumpul di sana?”
“Berkumpul?” Ambar terkejut.
“Ya, mereka sudah ku telepon dan berjanji akan datang malam ini. Aku masih dalam perjalanan menuju ke sana!”
*
Rumah ini begitu sunyi. Beberapa foto keluarga tergantung di ruang tamu dan keluarga. Bapak mertuanya adalah pemilik toko emas terkenal di kota ini. Jadi sangat wajar jika rumah ini sangat besar dan mewah. Sayangnya, ia seorang yang posesif.
“Non!” sara Mbok Nah mengagetkan Ambar.
“Mbok Nah mengagetkan aku saja!”
“Kamar Non sudah saya siapkan, begitu juga makan malam.”
Ambar heran bagaimana Mbok Nah tahu mereka akan menginap. Ia mengikuti Mbok Nah ke dapur.
“Non, jika rumah ini tidak ditebus oleh Den Bayu, Mbok Nah pulang ke kampung saja!”
Prang!
Ambar kaget bukan main.
“Apa itu, Mbok?”
“Paling si Meow! Kucing peliharaan Pak Iman!”
Ambar heran, sejak kapan Pak Iman memelihara kucing.
Ambar merasa tidak nyaman. Rumah ini tetap sunyi meski ada Mbok Nah.
Prang!
Kali ini suara-suara seperti piring berjatuhan di lantai. Herannya tak ada pecahan piring.
Penasaran Ambar keluar menuju ruang tamu, ruang keluarga dan ruang makan.
Sepasang mata kucing berbulu putih tampak mengawasinya.
Ambar lega. Benar kata Mbok Nah.
Dering telepon memanggil.
“Sayang!”
“Ya, Mas!”
“Sebentar lagi aku datang. Aku akan membeli kenangan!”
Tut..Tut…
Suara Mas Bayu hilang seiring dengan hilangnya sinyal.
*
Bayu akan membeli kenangan atas ibunya yang tersandera dan meninggal di rumah tua mereka. Rumah mewah penuh limpahan harta, tetapi ibu tidak pernah menikmati udara luar. Ayahnya sangat pencemburu, saudagar emas ternama di kota itu.
Editor : Dian Hendrawan
#ajangfikminjoeraganartikel2021
#day8
#genrehorortemrumahtua