Sudah empat hari aku tidak bisa menghubungi Cika. Padahal dia bilang akan pulang kampung selama tiga hari untuk menyebar undangan pernikahan kami, sekaligus meminta restu dan perwalian kepada kakak laki-lakinya. Kini terhitung sudah hampir seminggu sejak Cika berangkat ke kampung halamannya.
Apakah mungkin dia memperpanjang cuti? Akan tetapi, seharusnya Cika tetap mengabariku sebagai tunangannya, bukan hilang tanpa kabar begini.
Aku tidak bisa menghubungi Mas Bambang, kakak Cika di kampung karena tidak memiliki nomor ponselnya. Aku hanya punya nomor telepon rumah Bi Lina, bibinya Cika yang tinggal di Jakarta. Saat kuhubungi, Bi Lina berkata bahwa keponakannya sudah kembali ke Jakarta tiga hari yang lalu.
Segera kukendarai mobil menuju kontrakan Cika, tetapi tempat itu tampak sepi. Tidak ada jawaban saat aku mengetuk pintu. Mungkin dia sedang pergi. Kuputuskan untuk memarkirkan kendaraan tidak jauh dari kontrakan Cika. Bersembunyi di dalam mobil sambil terus menunggu dia kembali.
Kurasa sikap Cika aneh. Dia biasanya tidak pernah hilang kabar begini. Saat pernikahan kami tinggal seminggu lagi, cinta pertamaku itu malah seolah meng-ghosting pria tampan dan mapan sepertiku. Jangan sampai dia tiba-tiba membatalkan pernikahan sedangkan undangan sudah tersebar.
Prasangka buruk mulai bermunculan. Mungkinkah Cika berubah pikiran? Mungkinkah pernikahan kami tidak mendapat restu dari Mas Bambang? Atau jangan-jangan saat pulang kampung, dia bertemu dengan mantan pacarnya dan berniat balikan?
Aku sontak menggeleng untuk menepis semua prasangka. Cika tidak mungkin CLBK dengan mantan pacarnya, dia bahkan kehilangan beberapa ingatannya di masa lalu.
Dulu saat hendak melamar Cika, Bi Lina berkata bahwa keponakannya pernah kecelakaan dan trauma hingga hilang ingatan. Dia bahkan menjadi phobia terhadap kolam renang dan sungai.
Setelah menunggu hampir dua jam, akhirnya Cika muncul juga. Dia menggandeng anak laki-laki berusia sekitar enam tahun. Kutebak itu adalah Reno, anak Mas Bambang. Namun, aku tidak melihat Mas Bambang ataupun istrinya.
Kuikuti Cika hingga ke kontrakan. Saat gadis itu mengambil kunci dalam tas dan hendak membuka pintu, dia membulatkan mata mengetahui kedatanganku hingga kunci di tangannya terlepas.
“Cika, ke mana saja kamu? Kenapa nomormu enggak aktif?” tanyaku dengan tegas.
Cika menyuruh Reno masuk ke dalam kontrakan, kemudian dia mengajakku bicara di kafe seberang.
“Maafkan aku, Dendi. Sepertinya aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita hingga ke pelaminan,” lirih Cika menunduk, memandang jus alpukat yang dipesannya.
“Kenapa, Sayang? Undangan sudah tersebar. Bisa malu keluarga besarku jika pernikahan dibatalkan. Orang tuaku pasti akan marah dan kecewa,” protesku. “Kenapa kamu berubah pikiran? Apa keluargamu di kampung tidak setuju?”
“Bukan begitu, Den. Kamu akan lebih malu dan kecewa lagi jika jadi menikah denganku,” jawab Cika sambil menggenggam gelas jus. “Ingatanku sudah kembali.”
“Lalu apa hubungannya ingatanmu dengan pernikahan kita?” tanyaku masih tidak mengerti.
“Aku … sudah tidak suci lagi, Den. Aku bahkan sudah punya anak. Reno adalah anak yang lahir dari rahimku, tetapi sengaja diangkat dan dirawat Mas Bambang. Aku pernah mencoba bunuh diri di sungai setelah melahirkan Reno, hingga hilang ingatan. Aku tidak pantas untukmu, Den,” jelas Cika dengan wajah pilu dan tangan gemetar.
Cika benar … aku kecewa mengetahui masa lalunya. Namun, aku menyunggingkan bibir atas kejujurannya.
Indramayu, 14 Juli 2021
Penulis : Nita Yunsa
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day7
#TemaGhosting
Editor : Rizky Amallia Eshi