Akhir-akhir ini Citayam Fashion Week menjadi trending’s topic di berbagai media. Meskipun kini keberadaannya telah dibubarkan, tetapi kisah anak-anak yang sempat menghebohkan seluruh Indonesia ini, konon terdengar hingga ke Harajuku, pusat street style di Jepang dan mendapatkan apresiasi yang baik.
Layaknya Citayam, di Harajuku pun banyak anak muda yang mengekspresikan diri melalui gaya berbusana mereka yang unik dan eksentrik.
Jeje, Kurma, Bonge dan kawan-kawannya telah berhasil mendefinisikan kemerdekaan versi mereka, yaitu merdeka dalam berbusana. Mereka merdeka untuk memadupadankan atasan dan bawahan yang bertabrakan warna dan motif.
Mereka juga merdeka memodifikasi pakaian yang mereka kenakan dengan tema sesuka hati mereka yang membuat pakaian tersebut menjadi aneh di mata orang awam, tetapi terlihat wow di mata mereka yang memahami dunia fashion.
Mungkin memang terkesan sedikit kumuh, tetapi menciptakan sebuah karya seni tidak harus selalu berasal dari jarum dan benang emas. Mereka memang bukan model yang paham cara berlenggak lenggok di catwalk, tetapi upaya mereka
memperkenalkan busana yang mereka kenakan adalah suatu bentuk kepercayaan diri.
Mereka hadir sebagai sebuah simbol bahwa mereka ada. Satu hal yang terkadang luput dari jangkauan masyarakat yang semakin hari semakin individual dan bergaya hidup hedon. Walau sering dianggap rendah, kampungan dan tidak berbudaya, setidaknya mereka sempat membuka mata para petinggi untuk melihat ke bawah, melihat ke arah mereka.
Mereka, anak-anak pinggiran yang juga mempunyai cita-cita dan bukankah langkah terpenting selanjutnya adalah pembinaan agar bakat mereka tak redup oleh kejamnya penghakiman manusia?
Citayam Fashion week telah tiada, tetapi gelora kemerdekaan yang digemakan oleh anak-anak tersebut masih terasa.
Wajah-wajah mereka menghiasi setiap platform media sosial. Gaya mereka juga tersebar dari tombol โbagikanโ dan unduh, memenuhi galeri di setiap pengguna gawai. Tentunya, kenangan tentang mereka masih akan melekat tak lekang oleh waktu di memori setiap warga yang memiliki akun media sosial. Gaungnya pun masih ditiru di beberapa daerah lain dengan mengangkat beragam tema.
Anak-anak yang dihujat banyak orang karena dianggap norak dan diremehkan keberadaannya itu justru telah berhasil memerdekakan dirinya.
Mereka merdeka dari rasa tak dianggap yang selama ini menempel pada diri mereka. Merdeka dari rasa canggung dan rendah diri. Merdeka dari penilaian masyarakat yang selama ini menganggap mereka tak lebih dari sekedar anak-anak yang berlari dari kenyataan hidup. Mereka merdeka dengan caranya sendiri.
Tak mampukah kita menahan lisan barang sejenak untuk tidak menberi mereka label sebagai anak-anak yang tidak punya kerjaan? Alih-alih mencari solusi, kita justru mengapresiasi kemerdekaan yang mereka gagas dan lakukan dengan hujatan.
Coba tanya kembali pada dirimu, Ladies. Apakah sudah merdeka dari hiruk pikuknya dunia yang membebani dengan segudang keinginan dan entah kapan dapat terwujud?
Jika Anda sudah merdeka, seharusnya tak perlu memaki sehingga mengusik kemerdekaan orang lain, bukan?
Editor : Dian Hendrawan