✍️Wien Purwandini
Suara ketukan pintu kamarnya membuat Dianti terjaga. Diliriknya jam pada gawai yang ia letakkan di samping bantal. Pukul tiga lewat empat menit dini hari.
“Siapa?” serunya dengan suara tertahan.
“Ini aku, Fatih.” Suara yang sangat dikenalnya terdengar di balik pintu.
Seketika Dianti merasa semangat mengisi diri dan hatinya. Ia bergegas bangkit dari tempat tidur dan setengah berlari menuju pintu, lalu ia buka.
Fatih tampak tersenyum lembut di balik pintu. Senyum yang ia rindukan setiap saat dan mampu menguatkan serta membuat dunianya menjadi berwarna.
Dianti memeluk suaminya dengan erat. Membiarkan tubuh mungilnya tenggelam direngkuhan lengan kekar Fatih. Menghirup aroma tubuhnya. Merasakan energi yang mengaliri nadinya karena mendengar degup jantung kekasih hatinya itu.
“Ah, mengapa begitu lama? Aku menunggumu!” bisiknya setengah menangis.
“Maafkan aku, Sayang. Tapi, permintaanmu agak sulit kutemukan,” ujar Fatih seraya mengusap lembut rambut panjang Dianti.
“Lalu apakah kau menemukan dan membawanya? Kau mendapatkannya?” cecar Dianti. “Ah, harusnya kau tak perlu bersusah payah jika sulit, Sayang. Aku akan mengerti dan memahaminya.”
“Aku tak pernah mengingkari janji walau harus susah payah mencarinya, Sayang. Bukankah aku pernah bilang, akan kulakukan apa pun asal kamu bahagia,” ujar Fatih seraya memberikan setangkai mawar kuning pesanan Dianti.
Mata Dianti membulat bahagia melihat Fatih membawakan pesanannya. Namun, kebahagiaan sesungguhnya adalah ia makin yakin bahwa Fatih sangat mencintainya bagaimanapun keadaannya kini.
“Sekarang, bersiaplah!” ujar Fatih sambil menatap mesra istrinya.
“Bersiap? Ke mana? Kita akan ke mana, Sayang? Sudah lama sekali aku tidak jalan-jalan!” seru Dianti antusias.
“Tempat yang sangat indah, pasti kau suka. Perkebunan mawar kuning, tempat bunga ini berasal. Di sana, bisa memetik mawar sebanyak yang kau mau. Aku yakin, kau segera sembuh dari sakit, Sayang. Tidakkah kau merasa bosan berada di tempat tidur terus?” bisik Fatih sambil memandang mata Dianti yang makin cekung.
Dianti tertawa. Kembali ia memeluk Fatih. Ia mengenakan kerudungnya, sebelum mereka meninggalkan rumah menuju tempat yang akan ditunjukkan Fatih. Langkah Dianti ringan sebab Fatih menggandengnya dengan penuh cinta.
Ketika pagi menjelang, terjadi keributan di rumah besar nan asri itu.
Ulfa, ibu Dianti mendapati anaknya tak bernapas lagi. Dianti memeluk setangkai mawar kuning dan foto Fatih, mendiang suaminya, yang berpulang saat pergi mencari mawar kuning. Bunga yang sangat diinginkan Dianti, pemilik tubuh yang melemah akibat kanker stadium akhir.
Editor : Dian Hendrawan