Oleh: Haryati Hs.
Tidak mengherankan, jika perempuan supel dan cantik seperti Anggi, mendapatkan perhatian lebih dari rekan-rekan satu kantor.ย Hanya saja, Anggi tidak perlu bersikap over acting, Nayla membatin.
Siang itu, Nayla sengaja tidak ikut makan siang di luar kantor. Dia merasa tidak nyaman melihat tingkah Anggi, teman sesama magang, yang suka cari muka saat mereka berkumpul bersama para senior.
Karena kantor sepi, Nayla memutuskan untuk merapikan pekerjaannya. Perempuan muda itu merasa belum bisa menguasai tugas-tugas magangnya dengan baik.
Setelah merampungkan pekerjaannya, Nayla melirik jam dinding. Baru pukul 12.50, sebentar lagi rekan-rekannya akan datang. Dia pun bergegas melaksanakan salat zuhur.
Ketika kembali ke ruangan, rekan-rekannya sudah sibuk di meja masing-masing.
“Nayla, tolong gandakan berkas ini, ya,” pinta Mas Anton, salah satu seniornya.
“Baik, Mas,” jawab Nayla.
Ternyata Nayla kalah cepat. Anggi yang duduk di dekat meja Mas Anton segera mengambil berkas itu.
“Biar Anggi saja, Mas. Anggi memang mau ke ruang fotokopi, kok,” ujarnya dengan nada ramah yang berlebihan.
Nayla pun melanjutkan pekerjaannya. Dia tidak mau pusing dengan kelakuan Anggi meski terkadang merugikannya.
Waktu menunjukkan pukul 15.30. Biasanya pimpinan yang sedang berada di luar kota akan menelepon untuk menanyakan kondisi kantor. Seharusnya, mengangkat telepon menjadi tugas Nayla, tetapi Anggi selalu mengambil alih tugas tersebut dengan cerdik.
“Ya, Pak? Baik, akan saya sambungkan,” jawab Anggi dengan luwes. Setelah menyambungkan telepon kepada kepala bagian, Anggi menutup telepon dengan anggun.
Menit berikutnya, bapak kepala bagian keluar dari ruangan dan menyampaikan pesan dari pimpinan kepada karyawan senior.
“Nay, kamu dag dig dug, enggak?” tanya Mbak Sari, senior yang dekat dengannya.
“Kenapa memangnya, Mbak?”
“Pimpinan meminta kami membuat penilaian untuk kinerja kamu dan Anggi,” jelas Mbak Sari.
“Kalau Anggi, kurasa dia cukup percaya diri. Dia kan penjilat,” sambungnya.
“Ups! Jangan ekstrem gitu, toh, Mbak,” sambar Nayla. Kedua perempuan itu pun tertawa bersama.
Keesokan harinya, sepulang dari kantor, Nayla langsung menuju rumah Om Topan. Tante Ria siang tadi memberitahu bahwa Om Topan sudah pulang dari Bali.
“Sore, Om,” sapa Nayla riang saat melihat lelaki separuh baya itu asyik dengan ikan-ikan hias di kolam.
“Sore, Nay. Baru pulang dari kantor?” balas adik mamanya itu.
“Iya, Om. Nay kan rajin, jadi pulangnya tepat waktu.”
“Betul kamu rajin?” tanya laki-laki yang berkarisma itu sambil tersenyum menggoda Nayla.
“Masa Om tidak percaya sama keponakan sendiri?” sahut Nayla dengan nada yang dibuat terdengar merajuk.
Om Topan tertawa lebar seraya menyuruhnya duduk. Nayla menurut.
“Dari laporan yang Om terima, kamu itu kurang berinisiatif di kantor, tidak seperti Anggi.”
Mendengar penuturan Omnya, Nayla ingin tertawa, tetapi ditahannya. Belum sempat Nayla menjelaskan, Tante Ria datang membawa penganan dan teh hangat.
“Oalah, Pa,ย seperti tidak tahu keponakannya saja. Nay disuruh magang di kantor Papa, karena Papa tau Nay punya kemampuan dan rasa tanggung jawab, kan?” tutur istri Om Topan itu panjang lebar. Rupanya beliau mendengar perkataan suaminya tadi.
“Iya, Ma. Papa hanya mengengetes mental Nayla, tetapi sepertinya Nay tidak terpengaruh.” Kali ini Om Topan terbahak.
“Iya dong, Om. Keponakan direktur, kan harus memberi teladan,” ujarย Nayla dengan kepercayaan diri tinggi yang disambut oleh tawa Om dan Tantenya.
Editor: Indah Taufanny
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day4
#tema: penjilat