Joeragan artikel

Marahnya 'Penjaga' Rumah Panti

Marahnya ‘Penjaga’ Rumah Panti

 Oleh. Indah Taufanny

“Yakin, Mi, kita akan membawa anak-anak pindah ke sini?” Risma bertanya sambil memegang leher bagian belakang. Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri.

Umi Kulsum mengangguk, sambil membenahi barang-barang yang masih tersusun di dalam kardus-kardus besar.

Ia dan teman-teman pengurus panti layak bersyukur mendapatkan rumah pemberian walikota ini. Rumah ini, dulunya adalah rumah dinas para dokter. Kabarnya, rumah tua ini termasuk warisan Belanda tahun 1939.

Sebenarnya, kondisinya masih layak huni, semuanya masih terawat dengan baik. Termasuk atap dan plafon. Tapi memang auranya sangat berbeda. Begitu dingin dan seluruh ruang terasa lembab.

Menurut penduduk sekitar, sering ada suara-suara aneh berasal dari rumah tua ini.

“Hati-hati, Bu. Sebaiknya rumahnya diberi perlindungan dulu. Minimal adakan selamatan,” nasihat seorang warga.

“Biar anak-anak enggak kesambet. Kalau malam suka ada penampakan,” nasihat seorang bapak yang tinggal di ujung jalan itu.

Allahuakbar! Astaghfirullah!

Tiba-tiba terdengar teriakan dari arah kamar belakang. Umi Kulsum dan Risma bergegas menghampiri Bude Wati yang tengah memegang sapu. Wajahnya pucat ketakutan.

“Bude, kenapa?!”

“Anu…itu…” Bude belum mampu melanjutkan kalimatnya.

“Ambilkan air mineral di tas Umi, Mbak Ris!”

Risma sigap, bergegas mengambilkan air mineral.

“Tunggu!” Umi menghentikan Risma yang ingin segera menyerahkan air tersebut ke Bude Wati.

Umi membuka tutup botol. Terdengar perempuan paruh baya itu melantunkan surat Al Baqarah dan meniupkan ke dalam botol.

“Minum, Bude. Bismillah.”

Melihat Bude Siti mulai tenang, ia menuntun perempuan tua itu duduk di sebuah kursi jati.

“Bude lihat apa?” tanya pemimpin panti itu.

“Di dalam lemari itu.” Bude menunjuk ke arah lemari tua.

“Ya?” tanya Umi hati-hati.

“Ada lukisan orang Belanda, Um. Matanya menyala seperti api.”

Ternyata benar cerita orang-orang. Menurut kabar, ada satu ruangan yang tidak boleh dipakai untuk kamar. Karena kamar itu dikeramatkan dari sepuluh kamar yang ada.

“Anak-anak kita tunda dulu kepindahannya. Semoga pemilik lahan masih berbaik hati mengurungkan niatnya untuk merobohkan bangunan panti lama,” ujar Umi Kulsum, mengambil keputusan mendadak.

“Malam ini, kita menginap di sini memanfaatkan ranjang yang sudah datang,” lanjutnya lagi.

Dengan berat hati Risma dan Bude mengangguk, menerima keputusan perempuan berjilbab lebar itu.

***

Gubrak!

Malamnya, Risma mendengar suara barang jatuh. Ia berusaha keras memejamkan mata, dan pura-pura tidak mendengar apa-apa.

Sreet…sreett…

Kali ini ia mendengar suara kursi di geret-geret.

“Um, Um….”

Memberanikan diri ia membangunkan Umi Kulsum. Ia sudah tidak tahan ingin buang air.

Untunglah Umi segera bangun, kalau tidak, ia pasti sudah mengompol.

“Um, dengar suara, tidak?” bisik gadis berusia dua puluh tahun itu dengan hati-hati.

“Tidak ada,” jawab Umi berusaha tenang.

Risma pun menceritakan yang dia alami.

Insyaallah, nanti Mang Udin akan kemari mengantar pengeras suara. Kita akan perdengarkan surat-surat rukiah. Nanti juga akan ada teman Umi kemari, membantu merukiah rumah. Mengenai lukisan itu, tampaknya perlu dimusnahkan,” terang Umi.

Trep!

Baru saja Umi Kulsum selesai berbicara, tiba-tiba terdengar suara sakelar listrik seperti ditarik. Mendadak seisi rumah gelap. Saat Umi menghidupkan senter pada gawainya dan ingin beranjak mencari lampu darurat, pintu kamar terkunci dari luar. Padahal kunci itu tadi berada di sebelah dalam pintu.

 

Editor : Dian Hendrawan

 

#ajangfikminjoeraganartikel2021

#day8

#tema:rumah tua

#genre:horor

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami