Joeragan artikel

Maafkan (1)

Titik Jeha

Mataku tertarik pada baliho besar yang berdiri di pojok simpang jalan Slamet Riyadi. Di situ tertulis dengan huruf kapital bahwa besok malam ada pagelaran musik tradisional, gratis.

Lumayan buat hiburan, batinku.

Satu persatu kubaca deretan personil yang terlibat di acara itu. Barangkali ada nama yang kukenal.

Deg! 

Ada desir lembut yang merambat di sekujur tubuh saat mataku merangkai huruf-huruf itu.

Seniman muda: Fauzi Ardhana. Sebuah nama yang tak pernah kulupa. Nama yang membuat hari-hariku pernah berwarna.

Benarkah itu kamu? batinku merintih, menahan gemuruh di dada yang kian tak berirama. 

Kutatap lekat-lekat foto yang terpampang di sana. Ya, itu memang kamu.

Badanku tiba-tiba menggigil dan bergetar hebat. Kebersamaan kita yang raib, seakan tergambar jelas di pelupuk mata. Detil tubuh, senyum, canda, tawa, dan caramu memperlakukan aku. Semuanya.

Kudekap erat jaket blue jeans pemberianmu dulu, sebagai penawar gelisah rindu yang membiru. Rasa kehilangan yang teramat dalam telah menjelma perih, menggores duka hati nan sepi.

โ€œIngat, Dek. Aku ini calon suami kamu. Enggak boleh begitu, Sayang,โ€ katamu sambil mencubit hidungku lembut tatkala aku sedang marah. Aku pun tersenyum luluh.

Terkadang aku termenung dan membayangkan tentang kebersamaan kita. Fantastis. Usiamu tiga tahun lebih muda dariku. Masih tergolong belia untuk ukuran laki-laki. Kata orang Jawa disebut bau kencur. Baru dua tahun lulus SMA, tidak ada pekerjaan tetap, belum mapan, dan sedang berpetualang sebagai pekerja seni. Dan aku tidak mengerti, mengapa aku menyukaimu.

Semua seperti baru saja terjadi. Peristiwa itu, mengundang sesak semakin mendera,  begitu menghimpit, dan menenggelamkan asa yang tersisa. Hingga terbentang jarak dan waktu yang memisahkan, hampir dua puluh tahun lamanya. 

Aku ingat betul, waktu itu hari Minggu, 26 Agustus 2001. Seharian kita habiskan waktu berdua, menikmati hari yang indah berwisata ke Candi Prambanan, naik bus jurusan Yogyakarta – Solo. Merajut kebersamaan, mengukir kenangan  di relung hati terdalam. 

Kita berpisah, setelah makan bersama di warung Mbak Asih. Aku pulang ke rumah dan kamu kembali ke ibu kota, Jakarta. Ciuman kening dan peluk hangatmu masih terasa menempel, merasuk jiwa. Tak ada firasat prasangka kalau itu adalah saat terakhir bersamamu.

Selepas magrib, di rumah ada pertemuan keluarga dan aku diwajibkan hadir di sana. Ternyata yang dibahas tentang perjodohan. Aku harus memilih satu di antara tiga calon suami yang diajukan oleh keluarga besar. Tidak ada musyawarah dan kesepakatan, yang pasti aku harus mau dan tidak boleh menolak. Waktuku hanya sehari untuk menentukan pilihan. 

Aku terdiam tak berdaya, bingung, dan panik.  Situasi yang dihadapi sangat pelik dan di luar angan. Masa depan menjadi taruhannya karena merasa belum siap menikah. Usiaku baru dua puluh tiga tahun, masih ingin menikmati masa muda dan mengejar mimpi.

Pikiranku kalut, berkabut. Aku tak bisa curhat kepada siapa pun, hanya mampu menangis dan meratapi nasib. Waktu itu teknologi informasi komunikasi belum beragam dan secanggih sekarang. Jadi, semuanya kupendam sendiri.

Ingin rasanya berlari ke pelukanmu dan mencurahkan segala keluh kesah itu, tetapi ke mana aku harus menuju? Aku tak tahu alamat dan nomor telepon rumahmu. Satu-satunya harapan adalah kamu menelepon ke rumah. Sayang, hingga menjelang pagi pun teleponmu tak kunjung datang.

Hidupku ibarat makan buah simalakama. Satu sisi tidak mungkin membawa dan mengenalkanmu pada keluarga besarku karena mereka pasti akan langsung mendepak. Kamu masih sangat muda dan tidak memenuhi kriteria ideal mereka.

Di sisi lainnya kamu dan hubungan kita yang prematur. Mungkinkah di umur yang baru dua puluh tahun, kau bisa menjelma lelaki dewasa dan menjadi suamiku? Bagaimana dengan keluargamu yang belum pernah kukenal satu pun?

Setelah semalaman tak bisa tidur, pagi itu aku memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah dan semua hal tentang kehidupanku di Kota Solo. Entah bagaimana hidupku nantinya. Aku tak mau terjebak dalam lingkaran aturan keluarga yang otoriter dan memasung langkahku.

Bandung, 13 Januari 2019

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami