Lily yang berambut keriting dan tomboi sedang termenung sendiri di pojok kampus. Sejak tadi, ia memperhatikan seorang cowok berkemeja merah kotak-kotak sedang asyik membaca buku di taman. Gadis itu mencuri-curi pandang ke arahnya.
Mendadak gadis itu berdiri dan berpindah tempat duduk tepat di samping cowok itu.
“Permisi, boleh duduk di sini?” tanya Lily kepada cowok yang diincarnya.
“Boleh, boleh. Silakan duduk,” ucapnya menyilakan Lily tanpa menoleh sedikit pun. Gadis itu tampak sedikit kesal karena tak diacuhkan.
“Sombong amat, woii!” seru gadis itu ke telinga cowok itu sembari merebut buku yang sedang dibacanya.
Merasa terganggu, cowok itu menoleh. Hampir saja sumpah serapah keluar dari mulutnya. Namun, urung demi melihat sahabatnya itu tertawa.
“Sekar mana, Ly? Tumben enggak berdua,” tanya cowok itu serius menatap wajah Lily yang menjawab dengan mengangkat bahu dan nyengir.
“Aku nanya beneran, nih. Sudah tiga hari, Sekar tidak membalas telepon dan pesanku. Apakah dia baik-baik saja?” bisiknya khawatir. Raut gelisah terbaca jelas di wajahnya.
Lily terdiam sejenak. Ia sendiri bingung harus menjawab apa. Sekar melarangnya untuk mengatakan yang sebenarnya kepada cowok itu, Arga.
Jika boleh jujur, Lily sesungguhnya merasa senang dengan keadaan sekarang. Setidaknya dirinya bisa berdekat-dekatan terus dengan Arga, cowok idamannya itu, setiap hari. Memandang sepuasnya, bercengkerama, bercanda, dan banyak hal bisa dilakukannya bersama Arga. Tentunya, tanpa ada pengganggu, Sekar.
“Kok, malah bengong begitu. Jawab, dong. Gimana keadaan Sekar? Apa yang terjadi dengannya? Mengapa tiba-tiba menghilang?” tanya Arga bertubi-tubi seolah ingin mengetahui semuanya.
Lily menatap sahabatnya itu dalam-dalam. Ada desir luka di dasar hatinya. Perih. Kehadirannya ternyata tidak membawa pengaruh apa-apa bagi Arga. Cowok itu tetap saja mencari dan menanyakan Sekar.
“Lily, kamu kenapa? Jangan menatapku begitu, ah. Aku jadi enggak enak hati, nih. Adakah salahku padamu?” tanya Arga agak gamang.
Gadis itu menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan-lahan. Hampir saja Arga menangkap basah perasaannya yang selama ini terpendam.
“Maaf. Enggak apa-apa, kok, Ar. Hanya agak bingung aja. Soalnya Sekar melarangku untuk menyampaikannya kepadamu,” kata Lily membelokkan perhatian Arga. Cowok tirus berahang kokoh itu terhenyak.
“Memangnya kenapa, sih? Apa yang kalian sembunyikan? Mengapa tidak bicara saja?” protes Arga seperti tidak terima.
“Please Lily, tolonglah. Bisa-bisa aku stres karena rindu Sekar,” rajuk Arga menggenggam kedua tangan Lily erat dengan sorot mata memohon.
Sekuat tenaga gadis itu berusaha mengendalikan gejolak yang bergemuruh di dadanya. Serta menepis segala keinginan yang mencuat di hati.
“Oke. Sebenarnya aku sudah berjanji untuk merahasiakannya. Sekar akan memutuskan persahabatan, jika aku memberitahumu. Tetapi aku juga tidak tega melihatmu tersiksa seperti ini, Ar,” ucap Lily dengan nada sumbang.
“Sejak tiga hari yang lalu, Sekar sudah bertunangan. Dia tidak mau diganggu kamu lagi, tetapi tidak rela jika harus kehilanganmu,” lanjut gadis itu menjelaskan.
“Tunangan? Tidak mungkinlah. Kamu jangan mengarang, ya. Seminggu yang lalu Sekar bilang kalau dia juga mencintaiku. Jangan-jangan kamu enggak suka, ya, aku jadian sama Sekar?” tuduh Arga agak sewot. Ada sorot tak percaya di matanya.
Lily jengah ditatap seperti itu. Dia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi. Termasuk dibenci Sekar dan Arga sekaligus. Yang penting dia tidak mau jadi pecundang di antara mereka.
“Terserah kamu percaya atau tidak. Kamu bisa menanyakan langsung kepada Sekar atau mencari sendiri kebenarannya,” ucap gadis itu seraya meninggalkan Arga yang masih dibelenggu kegalauan.
Bagaimana pun Lily sadar diri bahwa Arga tidak mencintainya. Bahkan mungkin, tidak tertarik sama sekali. Di mata Arga, Sekar ibarat bunga mawar merah yang mewangi, sedangkan Lily, mungkin hanya angin lalu yang tak berwarna dan tanpa aroma. Kecuali Tuhan yang menakdirkannya berbeda.
Bandung, 23 April 2019
***