Titik Jeha
Lastri memoleskan lipstik warna merah bata ke bibirnya yang seksi. Warna kesukaan Reno, suaminya. Sekali lagi dipatutnya riasan dan dandanan, sebelum melangkahkan kaki ke meja yang telah dia pesan di kafe ‘Rose’.
Meja nomor tujuh yang ada di sudut kafe itu masih kosong. Reno belum datang. Lastri segera duduk dan memesan menu favorit berdua. Sambil menunggu pesanan, ia menulis pesan di Whatsapp kepada suaminya.
[Yang, aku dah nyampe. Kamu dmn?]
[Sabarlah. Sebentar lg aku jg sampe. Pesan menunya tiga, ya]
[Tiga? Ok, deh. Hati2]
[Y]
Lastri segera meralat pesanannya.
Selang sepuluh menit, Reno datang. Beberapa pengunjung tampak memandang kagum pada Reno. Maklum, kehadirannya mampu mencuri perhatian orang terutama kaum hawa.
Reno yang berperawakan atletis memang tampak gagah dan mempesona dengan senyumnya yang menawan. Kumis tipis dan rambut yang selalu tertata rapi menambah kesan elegannya.
Lastri tersenyum. Disambutnya kedatangan Reno dengan adegan cium tangan yang dibalas suaminya dengan ritual mencium kening. Pemandangan indah yang membuat orang di sekitarnya merasa iri bahkan mungkin cemburu.
Tapi, tunggu. Siapa perempuan berbaju merah yang berada di belakang Reno? Tubuhnya yang proporsional bergaya fashionable menunjukkan dia bukanlah perempuan biasa.
“Sayang, kenalkan ini Mayang,” kata Reno riang.
Lastri mengulurkan tangannya.
“Lastri. Silakan duduk, Mbak,” ucap Lastri agak kikuk.
Perempuan itu mengangguk tersenyum lalu duduk di sebelah kiri Reno. Melihat bahasa tubuh mereka, Mayang dan Reno sepertinya punya hubungan yang cukup dekat dan akrab. Lastri merasa agak jengah, tapi ia tahan.
“Lastri, Sayang. Mayang ini akan menemani kita nantinya. Dia akan banyak membantu kamu, terutama dalam mengurus kebutuhanku,” kata Reno memulai pembicaraan.
“Betul kata Mas Reno. Dengan senang hati, saya akan membantu, Mbak Lastri. Saya ikhlas, kok. Mbak , enggak usah khawatir,” sahut Mayang ikut bicara.
“Maaf, maksudnya bagaimana, ya?” tanya Lastri bengong. Selintas terbayang dibenaknya, mereka berjalan berdua berpelukan mesra.
Reno dan Mayang berpandangan.
“Begini, Sayang. Sebentar lagi kan kamu melahirkan. Pasti akan sibuk mengurus anak kita dan juga harus memulihkan kondisi tubuh. Sementara belum bisa mengurus dan siap melayani aku, biar Mayang yang menggantikan tugasmu. Jadi, agar tidak menjadi fitnah, aku akan segera menikahi Mayang,” tutur Reno dengan yakin.
Lastri menatap kedua orang di depannya secara bergantian. Dipandangnya wajah mereka satu persatu tanpa kata. Dia tidak tahu apakah harus menangis, berteriak atau apa. Hanya kedua tangannya saja yang berpegang erat pada kursi yang didudukinya seraya menghela napas.
Pelan-pelan Lastri mengambil minuman di depannya yang belum sempat ia nikmati. Dia berdiri, disiramnya muka innocent Mayang lalu pergi memegangi perutnya yang membuncit.
Bandung, 09 Januari 2019