Aku teringat cerita masa kecilku dulu. Namaku Hanah. Aku tinggal bersama nenek dan kakekku. Orang tuaku telah berpisah. Ibuku bekerja sebagai asisten rumah tangga di kota. Dia tinggal di rumah majikannya, Encik Lina, seorang pengusaha kain.
Saat tahun 1990, usiaku baru lima tahun. Aku senang bermain sendiri di rumah, seperti membuat boneka dari sarung, membuat rumah-rumahan dari kain samping, boneka kertas, membuat bangunan dari kayu, bermain masak-masakan dari alat dapur miniatur, membuat makanan dari batu bata, dan alat mainan yang berasal dari genteng juga. Pokoknya, kala itu nenek selalu menyediakan alat permainan untukku di rumah, supaya aku tidak berkeliaran ke luar rumah.
Nenekku tipe protektif, tetapi beruntung ada kakek yang selalu memanjakanku. Kakek selalu mewujudkan apa yang aku inginkan. Aku minta makanan apa pun, kakek selalu memberi. I love, kakek.
“Hanah, ulah kamamana nya? Amengna di bumi weh,” teriak nenek dari dapur yang melarang aku untuk keluar rumah.
“Enya, emak,” jawabku mengangguk sambil menggendong boneka.
Sore itu, suasana di luar ramai. Suara anak-anak berlari dan tertawa. Penasaran, aku melihat mereka dari jendela. Aku ikut senang dan tertawa menyaksikan mereka yang sedang bermain loncat tali dan bola kasti. Aku ingin ikut bermain di luar, tetapi takut dimarahi Nenek.
Aku menjauhi jendela, dan pergi menuju kamar tidur. Aku bermain kuda-kudaan di atas kasur, dengan menggunakan tumpukan bantal dan guling.
Suara tawa anak-anak masih terdengar saat itu. Aku makin penasaran. Tawa riang itu makin riuh. Aku diam-diam keluar kamar, dan melihat kembali jendela ruang tamu. Aku makin senang melihat mereka. Perlahan kubuka pintu ruang tamu, dan kututup perlahan.
Aku mendekati mereka yang sedang bermain. Salah satu dari mereka mengajakku bermain tali.
“Hanah, jadi anak bawang abi, nya?” kata Eulis.
“Enya,” anggukku.
“Abi heula nu ngajleung, ke Hanah ngiring ngajleng nya!” jelas Eulis sambil menggandeng tanganku.
Eulis lebih tua tiga tahun dariku. Dia sudah sekolah. Orang tuanya berjualan makanan. Dia sangat sederhana dan baik kepadaku.
Aku diajari Eulis main loncat tali. Aku menikmati permainan itu. Saat aku sedang berlari meloncati tali kecil itu, tiba-tiba nenek datang dan memarahiku.
“Hanah, tos bade magrib ieu. Ulah ameng di luar, bisi aya kulit katincak,” teriak nenek sambil meraih tanganku dan menariknya.
Nenek orang yang disiplin. Dia mengajakku masuk ke rumah, dan menjelaskan, bermain di luar saat waktu maghrib, akan ada kulit katincak.
Aku jadi sedikit takut. Dengan saksama aku melihat kakiku, dan membayangkan sedang menginjak kulit tebal. Lalu, aku menangis kencang.
“Mamaahh …,” tangisku sambil memanggil Ibu.
“Ku naon?” Kakekku bertanya.
“Abi nincak kulit jurig, aki,” aduku kepada kakek.
“Matak ulah ameng sareupna,” kata kakek sambil memelukku.
“Alim. Sieun,” kataku sambil meraba kulit kakiku.
Kulit katincak ini bagi sebagian orang, sepertinya mitos. Namun, bagi sebagian orang yang paham akan budaya, ini sebuah kenyataan. Kini, hingga aku dewasa jarang sekali keluar rumah saat magrib, kecuali untuk keperluan urgent. Hal itu, supaya kita tetap terjaga.
Terima kasih, Nek, untuk wejangannya yang sepanjang masa, selalu kuingat.
#ajangfikminjoeraganartikel2021
#day6
#temamitologi
Editor : Fitri Junita