Peluh bercucuran dan debu jalanan menempel sempurna di wajah seorang perempuan yang terlihat kuyu. Bahkan tangannya menghitam karena harus mengumpulkan kardus dan memilah botol bekas.
“Ya Allah, aku haus sekali,” ucapnya lirih sambil memasukkan botol-botol ke dalam karung.
Tak lama angannya menerawang ke rumah kardus yang dia bangun di sela-sela ruko yang masih kosong. Seorang bayi perempuan tergolek lemah. Mulutnya mengisap jempol penawar dahaga. Sesekali kakinya menendang pelan kucing dan bayi anjing yang berada di sebelahnya.
“Jangan pernah kau jilat kulitnya yang bersih,” pesan perempuan itu sesaat sebelum melangkah mengais rezeki di lokasi pembuangan sampah.
Tak lama sebuah sedan mewah datang dan keluar seorang lelaki tambun dengan memakai setelan baju senam dan sepatu mahal. Tangannya menenteng sebuah kantong plastik besar dan meletakkannya begitu saja. Bergegas perempuan itu berlari mendekat, setelah mobil lelaki tadi melaju cepat. Dia berharap ada barang bermanfaat yang bisa dia dapatkan.
“Alhamdulillah,” ucapnya kegirangan. Dia menemukan pizza, susu beruang, dan sisa muezza.
Setidaknya dia bisa menjamin perut bayi delapan bulan yang hanya bisa dia kurung dengan pagar kayu sekadarnya dan juga jajanan untuk anabul yang setia, pasti bisa membuatnya senang.
*
Dua perempuan satpol PP sudah bertolak pinggang di dekat istananya yang makin reyot.
“Baiklah, kami pergi!” teriaknya sambil bergegas meraih bayi mungil dan berlalu menghindari amukan tongkat.
Tangan kirinya memegang bayi kuat-kuat, tangan kanannya menyeret karung yang berisi bekal mereka untuk beberapa hari ke depan. Sedangkan dua makhluk berkaki empat mengekor langkahnya. Kedua mulutnya mengatup rapat tanpa lolongan dan sorot mata tajamnya meyakinkan bahwa mereka tak akan merepotkan.
Langkah perempuan itu terhenti di sebuah gerobak, di pojok sekolah tak berpenghuni. Tertulis “Nasi Goreng Spesial dan Mawut” di kaca gerobak kusam bercat hijau yang tak lagi bertuan.
“Sudah setahun lebih, majikanku tak menengokku,” ucap gerobak memelas memandang perempuan tak berdaya itu. Ruangan kosong bekas kompor itu, kini menjadi singgasana sang bayi.
“Minumlah, susu ini dulu. Kau pasti sehat, cerdas, dan bahagia.” Geliat riang sang bayi terlihat bersama hentakan kakinya. Gerobak pun turut bersukacita, bersama dua makhluk bersahabat.
Sewindu telah berlalu. Setiap malam perempuan itu menghabiskan waktu bersama wajan. Dia mengumpulkan pundi rupiah untuk sebuah rencana di masa depan. Laki-laki tambun pemilik sedan mewah selalu datang untuk memesan dan melihat sosok yang tak pernah dia lupakan.
Gadis kecil yang kini telah berumur dua puluh itu, cekatan membantu sang inang. Dia tumbuh besar bersama buku bacaan.
Kebaikan pemilik sekolah yang tutup karena pandemi telah mencetaknya menjadi seorang penguasa kafe literasi. Senyumnya yang selalu mengembang telah mengiris sembilu seorang pria tambun yang pernah menutupnya dengan lakban.
“Aku ingin mendengar sekali saja, dia memanggilku ayah,” pintanya dari kejauhan.
#ajangfikminjoeraganartikel2021
#Day1
#bebas
Editor: Fitri Junita