Oleh: Haryati Hs.
Pipit membuka mata yang terasa berat. Dadanya sesak. Dia tidak menyangka bahwa Jaka akan melakukan hal ini. Setelah dua tahun hubungan mereka yang sangat manis, kini Jaka menghilang tanpa kabar. Laki-laki yang sangat dikasihinya itu tidak bisa dihubungi.
Sudah lelah Pipit berusaha mengingat dan mencari tahu kesalahan yang mungkin dia lakukan. Kesalahan yang membuat Jaka tega meninggalkannya begitu saja. Akan tetapi, yang terbayang hanyalah kenangan indah mereka.
Pipit meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Dia bermaksud menghubungi Jaka lagi, tetapi ternyata ponsel itu habis baterai. Akhirnya, dia meletakkan kembali benda pipih itu. Lalu berjalan perlahan menuju jendela.
“Kamu yakin tidak perlu diantar?” tanya Jaka di pertemuan terakhir mereka.
Pipit ingat, saat itu dia mengangguk sambil melemparkan senyum termanisnya. Jaka pun membalas senyum Pipit dengan mencubit lembut pipi gadis tersebut, seperti yang sering dia lakukan jika sedang merasa gemas kepada Pipit.
“Nanti, apa kata sahabatmu yang cerewet itu? Pasti aku diomeli karena tidak mengantarmu.” Jaka masih mencoba meyakinkan kekasihnya.
“Enggak akan. Aku sudah bilang kamu harus menemani ibu periksa ke rumah sakit,” jelas Pipit yang berusaha meyakinkan Jaka.
Pipit mendesah. Dalam ingatannya, tidak ada satu pun yang menggambarkan kekecewaan, apalagi kemarahan Jaka. Dia tetap yakin bahwa hubungan mereka baik-baik saja.
Lalu, mengapa kini Jaka tidak menghubungiku?! Bahkan tidak bisa kuhubungi, jerit hatinya pedih.
Pipit merasa tubuhnya mulai limbung. Dia menyeret kaki untuk kembali ke tempat tidur dan berbaring di sana.
Sementara itu, di sebuah rumah sederhana, ayah dan ibu Pipit dilanda kepanikan. Mereka berusaha keras untuk dapat menghubungi Jaka, tetapi belum juga membuahkan hasil. Ibu Ade, wanita yang telah melahirkan Pipit, terlihat menangis tersedu-sedu. Ia ditemani seorang gadis yang juga sedang menangis. Sebaliknya, sang ayah, Pak Arif, tampak lebih dapat menguasai perasaannya.
Setelah berjalan hilir mudik selama beberapa saat, ayah Pipit kembali mencoba melakukan panggilan kepada Jaka melalui ponselnya.
“Halo. Assalaamu’alaikum, Pak,” jawab Jaka dengan suara yang terdengar bergetar.
“Ke mana saja kamu, Nak? Kami di sini menunggu kabar darimu,” jawab pak Arif dengan cepat.
Setelah mendengarkan sesaat, Pak Arif segera mengajak istri dan anak gadisnya bergegas menuju alamat yang disebutkan Jaka.
***
Jaka berdiri terpaku di samping ranjang Pipit. Raut wajahnya memancarkan kesedihan yang teramat dalam. Tiga hari menghilang tanpa kabar dan tidak bisa dihubungi, ternyata Pipit terbaring koma di ruang ICU sebuah rumah sakit.
Jaka meremas rambutnya. Ia menyesali tindakannya yang membiarkan Pipit bermotor sendiri ke rumah Maya, sahabatnya. Jaka berpikir, seandainya ia menemani Pipit saat itu, mungkin gadis tersebut tidak akan terluka akibat begal sehingga koma seperti ini.
Bagi Jaka dan keluarga Pipit, tiga hari tanpa mengetahui keberadaan gadis itu merupakan waktu yang sangat menyiksa. Untunglah usaha mereka melapor kepada polisi membuahkan hasil. Meski sangat menyakitkan untuk menerima kondisi Pipit, tetapi kini mereka dapat mendampinginya sambil terus berharap atas kesembuhan gadis yang sangat mereka cintai itu.
Editor : Rizky Amallia Eshi
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day7
#temaghosting