Oleh Wien Purwandini
Sarah kembali ke meja kerjanya dengan wajah kusut. Melemparkan berkas presentasi ke meja lalu tubuhnya sendiri dihempaskan ke kursi. Diremasnya kertas catatan yang disiapkan untuk presentasi tadi.
“Kamu kenapa, Sarah?” tanya Irma, rekan kerjanya.
“Aku sungguh tidak paham arah berpikir Pak Handi,” jawab Sarah.
“Memang kenapa? Sini cerita, biar kesalnya berkurang dan hatimu lega,” ujar Irma sambil menatap Sarah yang baru enam bulan bekerja di perusahaan itu.
“Bulan lalu, Pak Handi memintaku membuat bahan promosi produk unggulan terbaru perusahaan kita. Katanya aku mampu mengerjakannya karena ia melihat hasil kerjaku selama ini.”
Lalu?” Irma seolah tidak sabar menunggu penjelasan Sarah.
“Sejak perintah itu diberikan kepadaku, aku mulai membuat strategi pemasaran dan promosi. Semua selalu aku konsultasikan ke beliau sebelum aku melangkah ke tahapan selanjutnya.”
“Bagus dong, kalau begitu. Kamu sudah melakukan langkah yang tepat.”
“Ya, aku sangat berhati-hati karena ini tugas penting yang dipercayakan padaku. Tapi…. ”
“Tapi kenapa? Ada masalah? Atau ada sesuatu yang tidak kau kerjakan dengan baik?” Irma mencecar Sarah dengan pertanyaannya.
“Tidak! Semua berjalan dengan baik. Semua kukerjakan dengan cermat. Bahkan atas persetujuan pak Handi. Tapi tadi beliau mengatakan kepadaku bahwa semua yang kukerjakan tidak layak dilanjutkan. Dia memintaku menyerahkan tugas ini kepadamu!”
Irma memandang Sarah dengan wajah bingung. Matanya membulat karena terkejut.
Aku? Kenapa aku? Aku baru saja menuntaskan pekerjaan penting lainnya. Lalu tugasmu yang cukup berat itu diserahkan kepadaku?”
“Itu kata beliau barusan, Irma. Ah, aku memang tidak layak menyelesaikan tugas besar dan penting itu. Apalagi aku orang baru di sini. Kemampuanku jauh di bawahmu.” ujar Sarah lirih.
“Tidak, Sarah. Walau baru, kau punya kemampuan. Kamu cerdas. Harusnya Pak Handi tidak seperti itu.”
Tapi beliau memintaku menghentikan semua yang sudah kulakukan dengan susah payah. Ya sudahlah, Irma. Sepertinya aku masih harus banyak belajar lagi.”
Tiba-tiba telepon di meja Irma berbunyi. Panggilan dari Pak Handi yang meminta Irma menghadap ke ruangannya.
Irma mendekati Sarah. Menepuk pundaknya dan pergi menuju ruangan pak Handi.
“Irma, Sarah sudah bilang kalau saya minta kamu ambil alih pekerjaannya?” tanya Pak Handi begitu Irma masuk ruangannya.
“Sudah, Pak!”
Ini berkas Sarah. Kamu bisa pelajari. Oh ya, tolong panggil Amalia sekalian, ya. Saya mau memberinya tanggung jawab promosi produk berikutnya.”
“Baik, Pak,” ujar Irma sebelum meninggalkan ruangan Pak Handi.
Irma keluar ruangan lalu menuju meja Amalia di sebelah meja Sarah.
Amalia, kamu dipanggil Pak Handi!”
Amalia beranjak dan menuju ruangan Pak Handi. Sementara Irma hanya memandangnya dan tersenyum kepada Sarah yang masih lesu lalu menuju meja kerjanya.
“Akhirnya aku bisa meyakinkan Pak Handi untuk menendang Sarah dan melanjutkan pekerjaannya,” pikirnya sambil duduk dan memandang Sarah. Pandangannya lalu beralih menatap pintu ruangan Pak Handi.
Dan kau, Amalia. Kau yang berikutnya. Kerjakan saja tugasmu sementara aku meyakinkan Pak Handi. Nantinya beliau pasti akan menyerahkan pekerjaanmu kepadaku!”
Irma tersenyum. Membuka toples permen di mejanya dan berjalan mendekati Sarah.
“Nih, makan permen dulu supaya perasaanmu membaik,” tawarnya seraya menyembunyikan senyum licik.
Editor : Rizky Amallia Eshi
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#day4
#temapenjilat