Aku menata beberapa tumpuk buku yang ada di tangan ke dalam rak di depanku. Setelah tertata rapi, aku kembali ke pinggir ruangan sambil mengawasi beberapa pengunjung yang asyik memilih-milih buku.
Usiaku dua puluh tahun saat ini. Sesekali, aku tersenyum ramah kepada para pengunjung. Sudah satu tahun aku bekerja di salah satu toko buku terbesar di kotaku.
Aku, berusaha untuk menjadi karyawan yang baik sehingga bisa terus bekerja di sana untuk membantu meringankan beban ibu.
***
Bapak, memutuskan untuk meninggalkan rumah. Pergi dengan wanita lain.
Dari berita yang aku dengar, Bapak minggat dengan seorang janda tanpa anak. Entah, setan mana yang sudah merasuki pikirannya sehingga tega melakukan perbuatan itu.
Ibu hanya bisa menangis tersedu-sedu. Aku, yang saat itu baru berusia sepuluh tahun dan Yuni, adikku yang berusia tujuh tahun pun, hanya bisa ikut menangis di samping ibu.
Beruntung, Bapak pergi dengan meninggalkan rumah sederhana yang kami tempati sekarang. Otomatis, sejak kepergiannya, Ibu banting tulang bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarga.
“Jangan kamu tiru ulah Bapakmu, Yon. Jadilah laki-laki sejati, yang bertanggung jawab dan mencintai keluargamu,” nasihat ibu dengan nada lembut.
Aku hanya mengangguk mendengar nasihat Ibu. Sejak saat itu, aku pun berjanji dalam hati, akan membahagiakan ibu dan adikku.
Setelah lulus SMA, Ibu menyuruhku mengambil kursus komputer selama satu tahun.
“Biar ilmu dan wawasanmu bertambah luas, Yon. Kamu kan anak laki-laki, tulang punggung keluarga, jadi harus pintar.”
Begitu kata Ibu, saat aku menolak keinginannya itu. Bukan apa-apa, aku hanya kasihan melihatnya bekerja sebagai buruh cuci, setrika setiap hari, pulang sampai menjelang Magrib.
Setelah menyelesaikan sekolah dan kursus komputerku, aku melamar kerja. Alhamdulillah, aku diterima di toko buku ini. Dengan gajiku, aku bisa membantu ibu membiayai sekolah Yuni.
***
Kami berbincang-bincang berdua, sepulangku dari kerja. Ibu mengelus rambutku, aku pun mulai memijiti kakinya. Wajah ibu yang mulai terlihat menua, tangan kecilnya yang penuh dengan otot yang menyembul keluar, adalah bukti, betapa berat pekerjaannya.
“Kamu tabung saja uang gajimu, ibu masih bisa bekerja untuk membiayai sekolah Yuni,” kata ibu, saat aku menyerahkan sebagian gajiku kepadanya.
“Tidak apa-apa, Bu. Aku masih bisa menabung walau sedikit untuk masa depan,” ucapku.
Kulihat, lelah terpancar dari kedua matanya. Namun, tidak kutemukan amarah dan dendam di sana. Ah, ibu, kasihmu memang tak bertepi. Walau beban hidupmu sangatlah berat, engkau tidak pernah mengeluh.
Aku tersenyum memandangi ibu. Berjanji dalam hati, akan menghapus semua luka yang pernah menggores dalam hatinya.