“Happy anniversary, Lena!” ucap Amar kepada Lena, sahabatku. Tangannya mengulurkan sebuah kado kepada sang pujaan hati.
Lena yang sedang mengambil buku dariku sedikit terkejut. Aku tahu, ia lupa pada hari jadi hubungannya dengan Amar.
“Eh, iya, Kak. Happy anniversary!” sahut Lena tak enak hati. Ia menerima kado dari Amar.
Matanya melebar begitu melihat isinya. Aku ikut terkagum-kagum. Hadiah itu sungguh cantik, tiidak seperti diriku yang kian usang.
“Kuharap kamu suka dan mau memakainya,” kata Amar seraya tersenyum.
Keesokan harinya, aku kembali menemani Lena berangkat ke sekolah. Aku bahagia karena Lena selalu mendekapku dengan erat selama perjalanan.
“Kado dariku, kok, tidak kamu pakai?” tanya Amar di depan kelas Lena.
Aku merasa tidak nyaman dengan tatapan tajam Amar ke arahku. Namun, aku hanya bisa diam.
“Maaf, Kak, pemberian Kakak terlalu bagus untuk kupakai ke sekolah,” jawab Lena memberi alasan. Tangannya semakin erat mendekapku.
Rasa kecewa terpancar jelas di mata Amar, tetapi ia hanya diam. Setelah menyerahkan sebatang cokelat kepada Lena, Amar pamit kembali ke kelasnya. Lena memasukkan cokelat pemberian Amar ke dalam kantongku, lalu masuk ke dalam kelasnya.
“Kalian bertengkar, ya?” tanya Ais, teman sebangku Lena.
Aku melihat Lena menggeleng, kemudian duduk di kursinya. Ia meletakkan aku dengan hati-hati di atas meja.
“Aku melihat perubahan wajah Kak Amar ketika kalian bicara tadi, lo, Len.” Ais begitu yakin.
Rupanya sejak tadi Ais memperhatikan Lena dan Amar. Ais memang sangat perhatian kepada Lena. Ia lebih sering bersikap sebagai kakak bagi Lena ketimbang sebagai teman.
“Kak Amar menanyakan alasanku tidak memakai hadiah darinya,” akhirnya Lena mau bercerita, “menerima hadiah darinya tidak berarti aku harus membuang milikku, bukan?” lanjutnya.
“Ya, enggak, lah,” jawab Ais.
Ia tersenyum melihat Lena menepuk-nepuk tubuhku perlahan.
“Tapi, paling tidak, kamu harus memakainya sementara ini supaya Kak Amar merasa senang dan dihargai,” lanjut Ais.
Lena terlihat gusar mendengar saran Ais. Ia meraih dan menarikku kembali ke dalam dekapannya.
“Sampai kapan pun, aku tetap akan memakai pemberian almarhumah Ibuku ini, Ais. Ini kado terakhir yang Ibu beli dengan uang tabungannya.”
Melihat mata Lena berkaca-kaca, Ais tidak melanjutkan argumennya. Ia hanya tersenyum dan membelaiku sesaat untuk menghibur hati Lena.
Sepulang sekolah, Amar tidak menjemput Lena di kelas. Akhirnya, pulang menumpang motor Ais. Belakangan, kami baru tahu bahwa Amar harus pulang cepat karena ayahnya tiba-tiba harus dirawat di rumah sakit.
Sore itu, usai mengerjakan PR Matematika, Lena mengambil hadiah dari Amar dan meletakkannya di sampingku. Aku memahami keraguannya. Ia tidak dapat melepasku, tetapi juga tidak mau mengecewakan Amar.
Lena masih gamang ketika sebuah pesan WhatsApp masuk ke ponselnya. Ada sebuah berita duka di grup OSIS.
[Inna lillāhi wa inna ilaihi rājiūn. Telah meninggal dunia akibat kecelakaan, Amar bin Sofyan, Ketua OSIS kita. Semoga husnulkhatimah. Aamiin.]
Lena syok. Ia menangis sejadi-jadinya sambil memeluk erat tas selempang pemberian Amar. Aku ikut bersedih. Seperti Lena, aku tidak mengira tas itu adalah kado terakhir dari Amar. Aku juga tidak menyangka tas itu akan bernasib sama sepertiku, menjadi kado terakhir dari orang yang sangat Lena sayangi.
Editor: Saheeda Noor
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day20
#temaakusebagaibenda
#genreteenlit