Titik Jeha
Hari-hari tanpa kehadiranmu, waktu seakan lamban berlalu. Ada ruang hampa yang kian hari volumenya semakin membesar. Kosong. Tak ada kehidupan di sana. Asa yang pernah ada, kini hilang entah ke mana.
Warung Mang Edi di sudut kampus, salah satu base camp favorit kita, telah kehilangan identitas dan integritasnya. Riwayat kongko dan orasi seni yang paling keren sedunia kampus itu sudah tiada. Tamat. Tempat itu telah dijajah oleh oknum-oknum intelektual yang mengatasnamakan estetika dan menyulapnya menjadi tenda-tenda komersil.
Ruang-ruang di perpustakaan menangis meraung-raung memanggilmu, merindu. Bangku tempatmu bermesraan bersama tumpukan buku dan laptop telah diaku orang lain yang tak mau tahu tentang sejarahmu. Buku-buku di sana merana oleh raibnya sentuhan lembutmu, tatapan syahdumu, dan juga hangat pelukanmu. Mereka seolah marah padaku karena tak mampu menghadirkan kembali sosokmu. Aku sedih.
Mas Yatno dan Mbak Yati pemilik Lesehan โBiruโ di seberang Taman Budaya, tampak murung bermuram durja. Mereka telah kehilangan pelanggan setianya yang hampir tiap malam Minggu memesan ayam bakar dan trancam. Yang sehabis makan pasti nongkrong lalu bercerita dan berdiskusi tentang apa saja. Dan pengamen-pengamen langganan kehilangan gairah karena tak ada lagi orang yang humanis sepertimu.
Taman Jurug kini tampak sendu, mendesah resah kehilangan satu pengunjung yang selalu peduli. Si pembuat sketsa yang suka menikmati suasana di pinggir sungai Bengawan Solo atau sekedar berkeliling untuk menyapa seantero penghuni taman.
Jalan Insinyur Sutami terasa lengang. Sepi. Tak ada langkah kakimu yang hampir setiap waktu mengiringi jejakku. Tak ada kelebatmu yang berlari terengah mengejarku. Tak ada usilmu yang sesekali menggoda pengguna jalan di sepanjang trotoar itu.
โHalo, Pak De. Mau ke mana?โ teriakmu lantang dan sok akrab sambil melambaikan tangan kanan, pada seorang bapak bertopi Laken yang sedang mengayuh sepeda.
Tak ada lagi yang menungguku saat dosen selesai berbagi ilmu. Tak ada lagi yang mengajakku berkendara di jalanan kota. Tak ada lagi teman berdebat yang selalu mengalah dan membuatku tertawa. Tak ada lagi jemari yang suka mengusap kepala dan menyusut air mata luka. Tak ada lagi tangan kokoh yang merangkulku saat gulana. Tak ada lagi tempat bersandar saat letih merasuk jiwa. Tak ada siapa-siapa.
Kemudian kukirim pesan lewat angin yang menyusup di lorong-lorong rahasia dan embun pagi yang bergerilya di sepertiga malam. Namun, hingga kini belum juga ada jawaban. Kemana aku harus mencarimu? Haruskah aku menunggumu hingga Sang Pemilik Malam menyampaikan pesan?
Kutanya pada pohon berjajar di jalanan dan dedaunan yang selalu berbisik menyebarkan berita kekinian. Namun, yang datang hanya selembar kertas bukti pengajuan cuti kuliah yang kautitip lewat Herman. Kenapa kamu hanya diam?
Kamu di mana, Fe?
***
Herman termenung membaca tulisan di diary Arini. Ada rasa bersalah yang menyesakkan dadanya. Dia bingung tidak tahu harus bicara apa tentang Fe. Sahabat mereka yang kini telah tiada.
Bandung, 08 Januari 2019