By Dewi Hendrawati Triesnaningtyas
Qonita tersenyum sendiri kala mengingat cara Alvin melamarnya.
“Apa ini, Mas?” tanya Qonita saat membuka lembaran amplop berwarna putih yang diberikan Alvin kepadanya.
Matanya berbinar ketika membaca tulisan di kertas berwarna pink. Ia memandang Alvin yang yang juga sedang tersenyum manis kepadanya.
Qonita mengangguk, tetapi tak tahu harus berbuat apa, karena Alvin masih tetap duduk manis di tempatnya.
Ia seperti melayang di udara karena impiannya untuk segera menikah akan segera terlaksana.
Membina sebuah rumah tangga sakinah mawadah warahmah lalu tinggal di sebuah rumah mungil mulai muncul dalam bayangannya.
Alvin bangkit dari kursinya dan berjalan ke tempat Qonita duduk.
Sebuah kalung berliontin huruf Q telah melingkar di lehernya yang tertutup hijab.
Alvin memang tak banyak bicara, tetapi tindakannya lebih romantis daripada sajak para pujangga.
“Mas, kamu serius ingin melamarku?”
“Tentu saja, sudah saatnya kita melangkah lebih jauh, Dek!”
Hati Qonita berbunga-bunga. Alunan musik mengalun menemani malam bertabur bintang. Hati Qonita makin tak karuan.
“Minggu depan insyaallah Mama dan Papa serta keluarga besar akan datang!”
Qonita menggangguk senang.
***
Qonita berusaha melupakan Ivan, yang hingga lima tahun perjalanan kisah kasih mereka tak jua mau berjuang untuk segera meminang.
“Sabarlah, aku masih mencari uang yang banyak untuk melamarmu!” Ia selalu mencari alasan.
“Umurku sudah 27, Van. Aku takut saat uangmu terkumpul rambutku sudah memutih!”
Berulang kali Qonita meminta Ivan untuk segera melamarnya, sayang laki-laki itu bergeming. Hingga Alvin datang memberi harapan. Alvin yang baik, sayang dan tak segan memuji serta memanjakannya dengan barang-barang mewah.
“Simpan, ya. Untuk persiapan pernikahan kita!” pinta Alvin saat memberikan kartu debitnya.
“Tak usahlah, kita belum menikah!” tolak Qonita halus. Lagipula ia bukan seorang perempuan yang kekurangan uang.
Hal-hal kecil seperti ini membuat Qonita semakin yakin bahwa Alvin adalah jodohnya. Setiap ada kesempatan, Alvin mengajaknya membeli gamis, hijab dan semua yang diinginkan perempuan.
“Ayo, kita makan dulu!” ajak Alvin setiap kali menjemput Qonita di kantor.
Ivan masih datang ke rumah meskipun laki-laki itu tahu Qonita telah memiliki kekasih yang baru. Ia tetap bermain catur bersama Papa. Menyapu halaman yang dipenuhi daun-daun kering berserakan sebelum pulang ke Kalimantan tempatnya berdinas.
“Aku akan pulang saat lamaranmu!” ucap Ivan pada suatu hari.
“Tak usah jika itu akan membuat hatimu luka. Maafkan aku, ya Van!”
***
Hari ini keluarga besar Alvin akan datang dengan membawa banyak seserahan untuk melamar Qonita.
Hatinya berbunga. Tak ada berita yang lebih membahagiakan bagi seorang perempuan kecuali sebuah kabar, ada seorang laki-laki baik seperti Alvin yang berani melamarnya, sehingga ia tak perlu lagi mengemis kepada Ivan.
“Halo, Dek. Kami sudah siap berangkat.” Suara Alvin tampak riang.
***
Jodoh, rezeki dan maut sudah ada yang mengatur.
Seluruh keluarga besar Ivan berbahagia atas diterimanya lamaran Ivan oleh keluarga besar Qonita.
Acara belum usai ketika Chintya, sahabat Qonita, yang memperkenalkannya kepada Alvin, menelepon dan mengabarkan, bahwa berminggu-minggu Alvin telah mengurung diri sejak papanya Qonita menolak lamarannya.
***
DHT
Editor : Fitri Junita
#ajangfikminjoeraganartikel2021
#Day2
#lamaran
Ya ampun, Mbak. Keren ini twist nya. Tapi aku kasian loh sama Mas Ivan. Melas toh, Mbak Dew.
Laaah salah sebut hehe. Maksudnya Alvin ?