Joeragan artikel

Jeje dan Kemerdekaannya [Zebra Cross Illustration (Photo by Gunnar Madlung on Unsplash)

Jeje Dan Kemerdekaannya

Hai, Smart Ladies!

Jika mendengar nama Jeje Slebew, gambaran yang muncul dalam benak penikmat media sosial dengan hiruk pikuknya adalah seorang gadis imut berkulit bersih yang menjadi bintang di Citayam Fashion Week beberapa saat yang lalu. Kehadirannya seolah memberi arti bahwa tidak semua anak jalanan itu jarang mandi, berbau apek, dan kumuh seperti yang sering terlihat pada umumnya.

Ya, Jeje memang beda. Gadis berusia enam belas tahun tersebut mempunyai darah Belanda dari sang Ayah sehingga kulit ala bulenya menjadi nilai lebih. Lalu, mengapa gadis secantik itu berada di jalanan? Mengapa ia tidak melanjutkan sekolahnya? Adakah para pecandu gosip via internet dan televisi mencoba mencari tahu sebabnya? Oh, tentu tidak, Ladies! Menghujat dahulu, mencari informasi kemudian adalah ciri khas netizen Indonesia yang maha benar. Penghakiman yang mereka berikan kepada Jeje seolah merekalah yang paling sempurna di muka bumi ini, sehingga dikontrak Tuhan untuk mengemban tugasNya, yaitu menentukan amal dan dosa seseorang.

Apakah Ladies tersinggung dengan fakta yang disebutkan di atas? Jika iya, maka marilah kita kupas satu persatu mengapa Jeje berada di jalanan, bercampur baur dengan sekelompok anak-anak lainnya yang sering dicap bermasalah oleh masyarakat. Mungkin dengan mengetahu penyebabnya, para Ladies yang telah sempat membicarakan hal-hal buruk tentang Jeje akan terbuka hatinya.

Jeje menceritakan asal muasal dirinya turun ke jalanan di acara Podcast Atta. Jika di jalanan ia terlihat menye-menye, sok manja dan sedikit bar-bar, justru di acara Atta tersebut ia terlihat begitu tenang. Hilang semua kecentilan yang melekat pada dirinya, tergantikan dengan keramahantamahan yang beradab. Bahkan, meskipun tidak tamat SMP, pengucapan Bahasa Inggris Jeje cukup bagus. Dari sini saja, sudah dapat dilihat bahwa Jeje bukanlah gadis biasa.

Dikisahkannya, ayah dan ibunya bercerai, lalu ayahnya pulang ke Belanda. Sementara itu, ibunya membangun impian kembali dengan keluarga barunya. Bagaimana dengan Jeje? Ia dititipkan kepada neneknya. Awalnya ia hidup sebagaimana gadis normal lainnya, hingga suatu hari, ia dirudapaksa oleh tukang kebun neneknya. Dirudapaksa, Ladies! Bayangkan betapa sakit badan dan mental Jeje saat itu. Setelah itu, apakah Jeje mengadu ke neneknya? Ya, tentu saja. Ia mengadu sambil menangis. Namun, yang ia dapatkan bukan pembelaan, melainkan dirinya disalahkan karena sering memakai baju seksi.

Lihat, Ladies,bBanyolan yang mengatakan bahwa โ€œwanita selalu benarโ€, sepertinya tidak berlaku untuk Jeje saat itu. Ia hancur, tetapi tak tahu harus bagaimana. Ia rapuh, tetapi ia yang dipojokkan. Bahkan, ia disalahkan oleh keluarganya sendiri, orang-orang yang Jeje anggap dapat melindunginya. Ladies, coba hayati sejenak perasaan gadis yang harus mengubur cita-citanya ini.

Bagi Jeje, jalanan adalah keluarga yang sesungguhnya. Mereka saling melindungi satu sama lain. Keputusannya untuk tetap berada di jalan adalah cara Jeje memerdekakan dirinya dari semua rasa sakit. Ia merdeka dari ketakutan yang menghantui setiap berada di rumah neneknya. Jika ia sempat viral karena konten-kontennya, anggaplah itu sebuah penghiburan untuk luka akan trauma masa lalu yang ia miliki dan tak tahu kapan sembuhnya.

Jeje sudah merdeka. Jalanan yang terasa horor untuk banyak orang, ternyata menjadi surga untuk dirinya. Jalanan yang rentan akan kriminalitas, justru menjadi rumah teraman untuk Jeje. Jeje dan jalanan adalah sesuatu yang tak lagi bisa dipisahkan.

Editor : Haeriah Syamsuddin

#tantangan10harimenulis

#joeraganartikel

#kemerdekaan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami