“Uhuk … uhuk … uhuk!”
Perjalanan saya melintasi waktu seketika terhenti oleh suara batuknya yang terus menerus.
“Mau ke mana? Janganlah menyusahkan saya. Tidur saja, udaranya sangat dingin,” ucap saya saat melihatnya beranjak dari tidur.
Ia membungkus lehernya dengan kain blacu panjang bergambar ikan lele, lalu mendekati saya.
“U-hu-huk!”
Setelah menatap mata saya dalam, dua jarinya, genit mencubit hidung saya dengan gemas. Saya menampiknya. Geram.
“Aku tidak bermaksud menyusahkanmu, Ratna. Apa salah kalau aku ingin duduk menemani kekasihku yang cantik sejagat ini?”
“Genit,” jawab saya singkat.
“Kuperhatikan kamu melamun saja dari tadi. Apa tidak bisa dibicarakan saja. Hm?”
Malam ini kami duduk berdampingan dengan tatapan menyatu ke atas langit. Lelaki di samping saya mengedarkan jari telunjuknya ke titik-titik terang yang menggantung di angkasa. Kemilau butiran-butiran itu menghanyutkan saya ke masa dua puluh tahun yang lampau.
Lelaki yang saya cintai datang mewarnai mimpi-mimpi saya dengan membawa sepasang merpati putih di dalam sangkar.
“Aku menantikan hari ini dalam waktu yang lama. Beberapa waktu kita lewati bersama. Kamu adalah alasanku untuk tersenyum, Ratna. Nanti kita akan tidur bersama di bawah langit yang sama.”
“Galih … apa kau sungguh mencintai saya?”
“Apakah kamu meragukanku, Ratna?”
Sebuah cincin permata ia lingkarkan di jari manis saya, “Jadilah permaisuriku.”
Saya tersenyum melihat wajah tampannya, bak pangeran berjas putih. Sepasang burung dara terbang ke langit lepas. Dengan janji setia, saya menerima lamarannya.
“Uhuk … uhuk … uhuk!”
Kali ini saya terbatuk-batuk. Angin malam mendesir di ujung kulit leherku, diam-diam merasuk sampai ke tulang belakang. Mengingat-ingat masa romantis waktu muda membuat dada saya kembang kempis.
“Hahaha, Ratna … Ratna … kamu sudah merasakan apa yang aku rasakan, hari ini?” Ia menggulungkan sisa potongan kain blacu ke leherku. Terasa kasar, tetapi hangat. Tidak ada gambar ikan lele, hanya ada tulisan “Pecel Lele, Tempe-Tahu Penyet, Nasi Uduk”.
“Kau memang lelaki romantis, Galih. Akhirnya kita benar-benar telah tidur bersama di bawah langit yang sama. Tanpa atap, tanpa rumah. Beralas kardus, kita tidur bersama. Di dekat puing-puing tenda pecel lele tak bertuan.”
Saya tidak tahu apa yang akan terjadi hari ini, seperti apa besok, seminggu, sebulan, dan bertahun-tahun yang akan datang. Bahkan saya tidak tahu apa artinya hari ini bagi masa depan saya, jika sesuatu tidak berubah.
Cahaya tidak mengimbangi kegelapan yang telah mengalir dari celah-celah sejak musim berakhir.
“Tak usah kamu ratapi. Roda bisa saja berputar lebih cepat. Percayalah, kamu akan memiliki istana yang besar nanti. Tetaplah di sampingku, Ratna.”
Matahari terlalu pagi mengintip jalanan kota itu. Galih menggandeng tangan saya untuk menepi, ketika orang-orang tiba-tiba berkerumun di pinggir Jl. Nasional. Saya melihat dua gelandangan ditemukan tewas di dekat puing-puing tenda pecel lele.
#ajangfikminjoeraganartikel2021
#Day2
#lamaran
Editor: Fitri Junita