Joeragan artikel

Impossible

Titik Jeha

[Assalamualaikum. Pkbr? Hai, Yun! Ini aku, Bimo. Lupa, ya?]

Yuni membaca sebuah pesan yang masuk lewat Whatsapp. Bimo? Keningnya mengernyit sedikit tanda berpikir. Dia mencoba mengingat-ingat nama itu di tumpukan memori masa lalu.

Akhirnya dia menemukan sosok Bimo. Cowok tampan paling cool, pelatih dancer terpopuler di Grup Conga. Bimo yang pernah menyatakan cinta, tetapi diingkarinya.

[Waalaikumsalam. Eh, Bimo. Maaf, ya, baru bls. Alhamdulillah, kbr baik.]

[Ok. Gpp. Hari Minggu besok aku mo ke Bandung. Ketemuan, yuk!]

[Hayuk! Di Food Garden Miko Mall Kopo, ya. Habis Zuhur sekitar jam duaan]

[Ok, Beb. Siyaap!]

***

Jam di ponsel terbaca pukul 13.30. Yuni sudah datang di Food Garden sejam yang lalu. Setelah request meja dia segera pergi ke musala yang ada di area parkir lantai atas untuk salat Zuhur. Sebelum salat, dikirimnya pesan lewat Whatsapp nomor meja yang dipesan kepada Bimo.

Lima menit sebelum jam menunjuk angka dua,  Yuni turun menuju meja nomor tiga belas yang ada di pojok. Di sana telah duduk seorang laki-laki memakai kemeja kotak-kotak berwarna merah dengan bawahan blue jeans. Itu pasti Bimo. Yuni tidak pernah lupa dengan gaya rambutnya yang panjang sebahu.

Yuni menghentikan langkah sejenak, menata hati. Dia biarkan angan berselancar tentang laki-laki yang akan ditemuinya itu.

Diperhatikannya dari kejauhan, tak bisa dipungkiri tujuh tahun tak bertemu Bimo terlihat semakin dewasa. Aura kematangan terpancar dari dirinya. Ada desir lembut di relung hati terdalam, menghembuskan kesejukan dan perasaan nyaman yang indah.

Andai saja aku bisa menyelam di lautan yang mendamaikan itu, batin Yuni resah.

“Assalamualaikum, Bimo,” sapa Yuni dengan senyum merekah.

Laki-laki yang mengaku Bimo itu menoleh, sedikit terkejut.

“Waalaikumsalam. Eh, Yuni?” sambut Bimo sembari menyimak gadis yang berdiri di depannya itu dengan takjub.

Ingin dipeluknya gadis itu untuk sekadar menawar beban rindu yang menggunung, tetapi dia urungkan. Hanya kedua matanya yang tak berkedip mengamati setiap sudut detil wajah Yuni.

“Haloowww!” seru Yuni melambaikan kedua tangan ke muka Bimo yang terpukau memandang. Bimo tertawa.

“Makin cantik saja kamu, Yun,” puji Bimo tulus.

“Gombaaal! Sori, ya, rayuanmu tak mempan untukku,” sahut Yuni dengan senyum di kulum.

“Suer! Aku bilang apa adanya. Eh, katanya sudah selesai doktor, congrats, ya!” ucap Bimo.

“Terima kasih,” jawab Yuni tersipu.

“Kapan married? Masih jomblo akut? Jangan kelamaan, Yun, bisa kadaluwarsa,” canda Bimo menggoda.

Yuni tertawa kecil.

“Turut prihatin, ya, Bim. Maaf, aku salah,” ucap Yuni pelan.

Kepalanya tertunduk tak berani menatap Bimo. Kabar perceraian Bimo dengan Siska telah menyemai  rasa bersalah di hatinya. Bagaimana pun secara tidak langsung dia menjadi penyebab perpisahan mereka. Dia ingat betul saat meminta bahkan memaksa Bimo untuk menerima cinta Siska, sahabatnya.

Bimo tersenyum nyengir. 

“Sudahlah, Yun. Enggak perlu dibahas lagi. Simpan dan keep. Mending kita mikir buat masa depan, ok!” kata Bimo bijaksana.

Yuni mengangguk sepakat. Beberapa waktu berikutnya tampak Yuni dan Bimo saling diam. Mereka terbawa arus suasana hati masing-masing yang sendu membiru, lebam.

Andai saja waktu bisa diulang, batin Yuni mendesah.

“Duh, malah diam,” kelakar Bimo mencoba mencairkan situasi.

“Hee, maaf.”

“Apakah ada kesempatan kedua untukku?” tanya Bimo tiba-tiba.

“Maksudnya?”

“Aku masih berharap kamu menerimaku,” ucap lelaki itu mengiba.

“Entahlah. Aku bingung, Bim.”

“Bingung kenapa? Apakah ada seseorang yang telah menggantikan aku?” tanya Bimo lirih sambil meraih tangan Yuni tanpa permisi. Tangan lelaki itu terasa dingin dan gemetar. 

“Aku tidak tahu, apakah ada nama lain di hatimu. Jika ada, tolong tinggalkan dia dan menikahlah denganku. Aku berjanji akan membahagiakanmu,” pinta Bimo.

Digenggamnya tangan Yuni dan dipeluknya di dada, meredam debar jantung yang tak berirama.

“Sekali lagi, please, tinggalkan laki-laki itu demi aku,” kata Bimo penuh harap.

Yuni merasa hatinya bersimbah darah.

“Tapi, Bim. Aku …,” ucap Yuni seraya menggelengkan kepala.

“Pikirkan dulu baik-baik, Yun. Ini kesempatan kita yang tertunda. Ayolah, aku masih mencintaimu dan aku tahu kamu juga mencintaiku,” ucap Bimo tak berhenti memohon.

Gadis itu masih terdiam. Kedua matanya menatap Bimo dalam-dalam seolah mencari jawaban.

Ya, Tuhan. Apa yang harus aku katakan? Aku tidak mungkin melukai untuk kedua kalinya. Tapi aku pun mustahil memberinya harapan, batin Yuni merintih.

“Maaf, Bim. Sepertinya, kita tidak bisa bersama. Andai saja kamu datang lebih awal. Pasti semuanya akan berbeda. Tadi malam aku sudah menerima lamaran seseorang dan keluarga telah sepakat bulan depan kami menikah. Tidak ada alasan bagiku untuk meninggalkannya,” kata Yuni dengan terbata dan berderai air mata.

Bandung, 18 Januari 2019

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami