Sejenak kutatap seraut wajah keriput nan bersahaja, yang kini terbaring lemah di kasur. Begitu lelap perempuan itu tertidur. Kupandangi detil paras cantiknya yang menua dengan seksama, seakan tak mau berhenti menatapnya.
Gejolak batinku membuncah ingin segera memeluk dan menciumnya sekehendak hati, memuaskan dendam rindu yang terpendam saat ini juga. Namun, Mas Damar berhasil mencegah dan memberiku pengertian untuk bersabar.
Ada perasaan mengganjal di dada yang begitu menyesakkan, dan membuatku tak kuasa membendung derai air mata, saat mencium tangan kanannya yang terkulai.
Badannya yang mungil dan ramping tidak banyak berubah. Masih sama. Hanya tampak lebih rapuh dan tidak sebagus dulu. Rambut yang lurus, hitam, dan panjang juga telah memutih. Sepertinya Ibu memang sengaja membiarkan begitu.
“Sabar ya, Mah,” bisik lelakiku pelan dengan suara beratnya. Tanpa kuminta, kedua tangannya yang kokoh telah memeluk dan mencium keningku penuh cinta.
“Terima kasih, Sayang,” jawabku seraya menenggelamkan muka di dadanya yang bidang. Tak banyak kata yang bisa terucap. Sebab memang tak mudah mengungkapkan kecamuk rasa yang menggelora di jiwa.
‘Maafkan aku, Ibu. Aku belum sempat membalas kasih sayangmu yang bak mentari,’ batinku merintih.
Aku semakin terguguk di pelukan suami, melampiaskan perasaan yang mendera di dasar dada.
Empat tahun lagi, usiaku genap kepala empat. Ya, Tuhan! Alangkah cepatnya waktu berjalan, meninggalkan usia kanak-kanak, menjelang umur menuju senja. Menyisakan kenangan getir yang tak pernah bisa kuhapus hingga sekarang.
Merasa tidak tahan dengan gejolak hati yang kian menyiksa, aku pasrah saja saat suami mengajak duduk. Elusan tangannya yang hangat di punggung, membuatku lebih tenang.
***
Masih terpampang jelas di pelupuk mata, hari-hari bersama dengan Ayah dan Ibu. Saat masih tinggal serumah dulu. Dua puluh tujuh tahun yang silam.
“Kamu jangan pernah sekali pun menemui ibumu, ya. Awas kalau sampai ketemu!” ancam Ayah di suatu malam dengan suara bergetar dan mata memerah karena marah. Seingatku, waktu itu baru berumur sembilan tahun dan masih duduk di kelas tiga SD.
Aku tentu saja sangat bingung dan tidak mengerti karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Banyak pertanyaan yang berteriak di kalbu, tetapi tidak mampu terkatakan. Kekuasaan seorang ayah telah mencabut keberanianku bicara, meski hanya sekadar bertanya. Hal itu pula yang membuatku semakin benci pada sosok ayah dan semua laki-laki. Bagiku, mereka tak lebih dari seorang monster yang siap memangsa kapan saja.
***
Sejak hari itu aku tak pernah bertemu lagi dengan Ibu. Sapaannya yang lembut. Senyumnya yang mendamaikan. Belaian tangan dan pelukannya yang hangat, mendadak raib tak tahu rimbanya. Aku benar-benar kehilangan.
Aku tidak pernah berani menanyakan perihal Ibu pada Ayah. Entahlah. Mulutku seperti dibungkam beribu-ribu tangan manakala berhadapan dengannya. Apa pun yang menjadi ucapan dan keputusan Ayah adalah aturan yang tidak boleh dilanggar. Melanggar aturannya berarti siap dicoret dari daftar keluarga.
Terbayang betapa tersiksanya Ibu kala itu. Namun hebatnya Ibu, tidak pernah sekalipun tampak kegalauan, keresahan, bahkan keluh kesah yang terlontar dari bibirnya.
“Ibu, kenapa Ayah galak?” tanyaku sambil memandang matanya yang selalu membuatku tenang, seolah berenang di telaga sejuk.
“Galak? Masa sih? Kamu salah. Ayahmu itu tidak galak, kok. Dia sayang sama kita. Ya, begitulah cara ayahmu menyayangi kita,” papar Ibu seraya memandangi wajahku dengan kasih sayang.
“Tapi kenapa bicaranya kasar terus. Seringnya juga marah-marah. Aku takut jika bersama Ayah. Apakah Ibu tidak pernah merasa takut?”
Lagi-lagi Ibu tersenyum.
“Dulu pernah merasakannya. Saat sebulan pertama sesudah menikah. Setelah itu semua biasa-biasa saja. Kamu lihat kan bagaimana ibu? Pernahkah ibu meladeni ayahmu dengan sikap yang sama? Atau kamu pernah menyaksikan ibu berteriak pada ayahmu?” Suara lembut Ibu menghipnotisku. Cepat-cepat kupeluk badannya yang hangat dengan erat, seakan tak mau lepas.
“Aku sayang, Ibu,” bisikku pelan.
***
Bertahun tidak bersama Ibu ternyata tidak membuatku bisa melupakannya. Bahkan, tidak sedikit pun rasa cintaku berkurang.
Aku mencoba mengingat semua hal tentang Ibu dan mempraktikkan yang diajarkannya. Begitulah caraku meredam rasa rindu yang menggunung kepadanya.
Setiap selesai salat, aku selalu bermohon agar dipertemukan dengan perempuan yang menginspirasiku itu sepenuh hati. Dialah guru pertama hidupku di dunia sebab darinya, aku belajar menjalani kehidupan dengan tegar. Terima kasih, Ibu.
Ibu betul-betul sosok wanita yang terjaga lisannya. Menurutku. Tak sedikit pun aku mendengar cerita buruk tentang Ayah. Tak sekali pun. Padahal aku tahu persis bagaimana Ayah hingga berdampak padaku. Aku tak berniat menikah karena tak ingin mengalami seperti pengalaman Ibu.
Namun, Tuhan berkehendak lain. Aku dipertemukan dengan seorang lelaki yang jauh lebih baik dari Ayah. Lelaki yang aku idamkan tentunya. Dialah suamiku tercinta, Mas Damar, yang ternyata dikirim Ibu untuk menjagaku. Bisa jadi ini wujud doa-doa Ibu yang mengalir untukku. Sungguh skenario Tuhan yang luar biasa.
Belakangan aku baru tahu, jika Ibu tak lain adalah ibu asuh suamiku, yang seorang anak yatim piatu. Jadi, secara tidak langsung Ibu telah menyiapkan Mas Damar menjadi lelaki sandaranku tatkala letih berjalan. Menapaki hamparan kehidupan yang terjal dan curam.
Aku semakin terpuruk pada rasa perih yang dalam. Batinku berontak menuntut. Apa yang sudah aku berikan untuk Ibu? Kebaikan apa yang telah aku lakukan? Sebandingkah dengan pengorbanannya?
Niat dan tekadku kian bulat dan tak terbendung untuk membagi kebahagiaan kepada Ibu, serta senantiasa membuatnya tersenyum dalam menikmati sisa-sisa harinya.
***
Suara azan Subuh di masjid sebelah rumah membangunkanku. Badan terasa begitu letih dan pegal-pegal. Aku ternyata tertidur di pinggir dipan pembaringan Ibu dengan kedua tangan menggenggam tangannya.
Perlahan kurasakan tangan itu bergerak-gerak. Ya, Tuhan. Jantungku seperti dipacu, berdebar-debar tak beraturan. Matanya mulai terbuka dan merespons keberadaanku.
“Siapa ini?” tanya Ibu seraya menatapku penuh selidik. Kubiarkan mata tuanya yang bak cahaya itu memandangi detil mukaku.
“Ini aku, Ibu. Larasati. Anak Ibu,” ucapku parau karena menahan tangis. Air mataku membuncah. Tubuh mungilnya langsung saja kupeluk erat-erat.
“Benarkah ini kamu, Sayang? Laras?”
Ibu masih belum percaya. Ditatapnya lekat-lekat mataku seraya menempelkan kedua telapak tangannya di pipi. Tangan itu terasa begitu dingin, sedingin rinduku pada Ayah yang telah memisahkan kami. Dipeluknya tubuhku dengan segenap rasa yang mengharu biru, ditutup dengan ciuman kasih sayang di kening, seperti dulu yang selalu dilakukan Ibu setiap kali memeluk.
Aku sangat bersyukur, Mas Damar telah memberi kado istimewa di anniversary pernikahan kami yang keenam. Ia mempertemukanku dengan Ibu yang selama ini kucari dan selalu kunanti.
***
Hari ini aku berencana mengajak Ibu jalan-jalan pagi, setelah kemarin seharian melepas beban rindu di rumah. Kursi rodanya telah kusiapkan sejak semalam. Aku ingin membawanya mengitari Taman Lansia.
Namun, betapa terkejutnya aku saat mendapati tubuhnya telah terbujur dingin di atas kasur. Ibu telah meninggalkanku kembali dengan senyuman yang tersungging di bibir.
“Ibuuu!” teriakku histeris memecah pagi yang kian hening.
Bandung, 10 September 2019