Joeragan artikel

HUJAN RASA

Oleh : Etika Amatusholihah

Kalau bukan karena bakti, aku tak mau perjodohan ini berlanjut. Tetapi apa daya. Kalau berontak, pasti akan di cap anak tak berbakti dan tak tahu diri.

“Ingat ya, Nduk … kamu harus patuh pada suami sebagai imammu nanti,” pesan ibu di saat wajahku sedang di rias.

“Iya, Bu,” jawabku kalem.

“Beruntung ya, Mbak Juan dapat calon suami orang kaya, ganteng pula,” komentar mbak perias saat memberikan lipstik merah muda di bibirku.

“Iya Mbak, Alhamdulillah,” jawabku datar.

“Kalau disayang suami, apa saja kan pasti dituruti, ya mbak. Mau berlian, pasti juga dituruti. Hahaha,” lanjut si mbak.

Ugh, mereka mengira aku akan bahagia dengan pernikahan ini, pernikahan yang dipaksakan harus terjadi karena harta dan aku tumbalnya.

Mereka kira, ahh … Ribuan rasa berkecamuk di dalam hati. Entah, sudah mati rasakah orang tuaku menyerahkan putrinya, demi menyelamatkan usahanya yang hampir bangkrut ke tangan anak keluarga kaya raya itu, hanya karena mereka mau membantu melunasi hutang-hutang usaha bapak yang belum dibayar sampai jatuh tempo.

Kurang setengah jam, akad nikah akan dilangsungkan. Hatiku semakin tidak karuan. Akan kah aku sanggup menjalani kepura-puraan ini.

Duh ibu, tak tahukah engkau betapa yang kuinginkan suatu kehidupan yang sederhana dengan seorang imam salih yang tidak melulu memandang dunia sebagai orientasi keberhasilannya.

Duhai, bapak, anakmu memang tak punya hak memilih. Tapi, mengapa kau tega menyerahkan aku ke mulut serigala yang serakah akan kekuasaan. Kepalaku sudah sangat pening memikirkan hal berat ini. Hanya bisa menarik nafas panjang-panjang demi menjaga hati dan mata agar tidak menangis. Padahal, di dalamnya sudah menjerit ingin teriak dan lari.

Toh akhirnya, mau tidak mau, aku tetap harus maju. Menjalankan ritual yang nanti harus di lakonkan dengan banyak sandiwara.

Ijab kabul dilangsungkan. Pengantin pria sedang melafazkan janji. Terdengar ucapan ‘syah’ dari beberapa orang yang menyaksikan acara sakral itu. Aku di dalam kamar hanya bisa pasrah dan semakin lemas saja.

Ibu memelukku dengan bahagia, beberapa anggota keluarga memberikan ucapan selamat, air mataku sudah habis terkuras sebelumnya dan kali ini semuanya terasa kosong.

Untuk pertama kalinya aku di pertemukan suamiku, aku menunduk tak ingin melihat wajahnya. Sungguh , aku membencinya. Berkali-kali ibu mengangkat daguku ke atas agar wajahku bisa tegap. Tapi, aku menolak dan menunduk lagi, bahkan kupejamkan mata rekat-rekat.

Suamiku datang menjemput untuk mengajakku duduk di kursi pelaminan. Penghulu masih menunggu di sana untuk kelengkapan surat-surat yang membutuhkan kehadiranku. Diulurkan tangannya meminta izin memegangku.

“Ya Ukhti, ijinkah atas nama Allah, aku menjadi imammu saat ini. Perkenankan aku menjadi pelengkap hidupmu berjuang di jalannya seperti yang pernah kita perjuangkan dulu saat kuliah.”

Alisku mengernyit, otakku loading lebih cepat kembali ke masa kuliah. Mataku tiba -tiba terbelalak dan langsung memandangnya. Suara itu sangat kukenal. Kaget campur bahagia menjadi satu manakala mata kami saling berpandangan. Ia tersenyum sangat tampan, ah aku suka, ya Allah.

Ternyata laki-laki yang telah syah menjadi suamiku ini adalah Mas Azzam, seorang aktivis pendakwah, kami pernah sama-sama berjuang dalam organisasi kampus. Sekarang beliau menjadi usahawan muslim muda bertalenta dan menjadi inspirasi bagi kaum muda muslim.

Aaa … aku seperti diguyur hujan deras seketika. Bahagia luar biasa, melonjak lonjak kegirangan. Terima kasih ya Allah, terima kasih tak terhingga Engkau perkenankan doa-doa hamba.

Nduk, ayo, tanda tangan surat nikah dulu. Kok, malah bengong liat suaminya,” tegur ibu, disambut tawa semua keluarga dan teman yang hadir.

Air mataku tumpah penuh haru. Maafkan ya Allah, telah banyak berburuk sangka dengan takdir yang telah Engkau tetapkan.

Tamat

***

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami