Joeragan artikel

Haruskah Menulis Surat untuknya

“Kamu yakin tidak mau nomor wa nya dia?” tanya Ery, memastikan.

“Buat apa? Tempat tugasku itu susah sinyal, Ry. Lagian, apa coba yang mau kubicarakan sama dia?” jawab Hendra dengan santainya balik bertanya pada kawan sebangkunya zaman SMA dulu, yang bersikeras ingin memberikan nomor wa Hana, seorang gadis yang pernah singgah dalam hidupnya ketika itu.

“Ya sudah, tulis surat saja kalau begitu … masa tidak ada yang ingin kamu sampaikan? Ucapan selamat atau tanya kabar mungkin? Ayolah, kapan lagi ada kesempatan menyambung tali silaturahmi padanya?” Ery masih bersikukuh membujuk Hendra untuk kembali menghubungi Hana yang akan ia undang besok sebagai bintang tamu di salah satu acara radionya.

“Aku masih trauma berhubungan dengan perempuan , Ry. Bagaimana kalau dia ternyata sudah menikah? Aku tidak mau patah hati lagi. Episode niat melamar Aysha di malam yang ternyata adalah malam akad nikahnya dulu itu masih terus membayangiku. Asli, aku masih shock berat, Bro” elak Hendra dengan tegas.

“Tanya langsung saja kalau begitu, besok kamu belum pulang ke tempat tugasmu, kan? Datanglah ke studio siaranku, habis siaran kalian bisa bicara. Setahuku, dia dulu juga pernah suka dengan kamu. Hanya saja dia cewek, wajarlah kalau malu menyatakan perasaannya lebih dulu,” Ery melemparkan saran yang sudah bisa diduga Hendra sebelumnya.

Sayangnya, Hendra memang sudah harus kembali ke tempat dia bertugas keesokan harinya. Sebuah desa terpencil dengan jangkauan sinyal yang sangat terbatas merupakan destinasi tempat Hendra mendedikasikan ilmu sebagai seorang tenaga medis muda berpredikat pegawai tidak tetap pemerintah.

“Wahai dr. Anderpati Mahendra yang mulia, sampai kapan kamu mau menikmati pahitnya patah hati? Bukankah dirimu juga berhak bahagia? Perempuan yang kau sukai itu saja sudah punya dua orang anak dari lelaki idamannya. Masa masih mau kamu tunggu juga?” Kali ini, kentara sekali lelaki beranak satu itu menyindir Hendra terang-terangan.

Hendra bukannya menolak menulis surat untuk Hana, tapi memang akan lebih baik jika dipastikan dulu, apakah Hana masih sendiri ataukah sudah menikah, pikirnya. Dia hanya tidak ingin mempersulit keadaan Hana, jika benar ia sudah menikah.

Hendra menghargai usaha Ery untuk mendekatkannya pada Hana yang merupakan gadis impiannya di masa lalu. Hendra meyakini bahwa Hana, juga bukanlah pilihan yang buruk.

Seingatnya dulu, Hana memang dikenal sebagai gadis yang pemalu, berbeda dengan sosoknya sekarang yang jauh lebih kritis dan gaul dengan berbagai aktivitas di bawah naungan LSM tempat ia bekerja. Hendra sedikit meragu jika Hana masih sendiri sampai dengan saat ini. Dia juga sangsi akan perasaan Hana padanya, apakah masih sama seperti dulu saat mereka masih mengenakan putih abu-abu.

“Baiklah, Bro … Aku akan tanyakan status dia untukmu dan jika ternyata ia masih sendiri, janji ya! Kamu akan tulis surat untuknya sebelum kamu berangkat kembali ke tempat tugasmu yang udik itu!” Tegas Ery pada sahabatnya yang menampilkan ekspresi ambigu. Hendra menghela napas dengan berat, kemudian mengangguk dengan lesu. Dia belum begitu yakin dengan ide sahabatnya itu.

Dia masih dinaungi trauma menyaksikan akad nikah gadis yang ia sukai beberapa waktu lalu. Namun, di sudut hatinya ia berharap, inilah jawaban dari Tuhan atas doa-doa yang kerap ia panjatkan di penghujung malam.

***

Sementara di sudut ruangan Hana terpaku, membaca pesan WA yang baru masuk via ponselnya siang itu. Ery, teman lama dan juga penyiar radio yang mengundangnya besok mewakili LSM lingkungan tempatnya bekerja menanyakan statusnya saat ini.

Sejujurnya ia agak risih, jika ada yang menanyakan statusnya yang memang sedang menggantung kini. Dia masih terombang-ambing dengan perasaannya yang hancur menghadapi perselingkuhan suaminya baru-baru ini. Haruskah bertahan atau mundur dari biduk rumah tangga yang sedang ia jalani.

Wa dari Ery masuk lagi, kali ini menyebutkan sebuah nama yang seketika menggali kenangan lama yang pernah ia kubur dalam-dalam karena telah memilih menikahi lelaki yang sudah melukai.

[Dia ingin menulis surat untukmu, jika kamu masih sendiri]

Itu adalah bunyi pesan terakhir yang dikirim oleh Ery. Hana tak mengerti haruskah ia merasa bahagia atau bersedih. Mungkinkah ini jawaban dari Tuhan atas doa-doa yang ia panjatkan setiap hari? Satu yang pasti, ia merasa dirinyalah yang harus menulis surat terlebih dahulu sekaligus menjawab pertanyaan Ery, “apakah dirinya masih sendiri?” kepada Anderpati Mahendra, pria masa lalunya.

1 komentar untuk “Haruskah Menulis Surat untuknya”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami