Joeragan artikel

Hadiah Spesial untuk Ibu

“Aku mau melamarmu,” ucap Bram dengan nada serius meski tak menoleh sedikit pun ke arahku.

“Apa? Coba ulang lagi!” sahutku setengah berbisik menjawab ucapannya

“A-k-u-m-a-u -m-e-l-a-m-a-r-m-u,” kata lelaki bernama Bram itu secara tiba-tiba di dekat telingaku. Meski suaranya terdengar pelan tetapi sangat jelas dan tegas. Maklum, banyak telinga yang terjaga di ruanganku.

Sejenak aku terpana dengan apa yang baru saja Bram ungkapkan. Kata-kata itu begitu menyenangkan sekaligus menakutkan. Menyenangkan karena Bram menunjukkan keseriusannya dalam menjalin hubungan denganku. Menakutkan karena aku masih dihantui peristiwa gagalnya beberapa hubunganku sebelumnya.

Jujur saja aku merasa tersanjung dengan niat Bram yang ingin melamarku. Akan tetapi rasa itu seketika raib saat bayangan wajah Ibu melintas di benakku. Aku tidak tahu bagaimana cara terbaik mengenalkan lelaki itu pada Ibu. Andai saja ada agency atau jasa pelayanan yang bisa menolongku untuk menjadi jembatan antara aku dengan Ibu, maka aku pasti akan menyewanya. Agar aku tidak perlu mengatur sebuah skenario untuk sebuah pertemuan antara Ibu dan lelaki calon menantunya.

Nyeri di dada terasa membelenggu pikiranku. Aku masih trauma dengan kenyataan yang sudah kujalani bahwa lelaki yang dekat denganku memilih untuk mundur teratur dan meninggalkanku setelah kukenalkan dengan Ibu. Ibu adalah sosok wanita masa lalu yang teguh memegang budaya Jawa. Untuk memilih  calon menantu saja harus melewati prosedur dan sesuai dengan kriteria yang diinginkannya.

Setiap lelaki yang berniat menjadi pendampingku akan ditanya semau hal terkait dengan bibit, bebet, dan bobot. Pertanyaan Ibu harus dijawab dengan detail dan tidak boleh ada yang terlewat. Setelah itu, meningkat ke persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Semuanya harus pas tidak boleh kurang atau lebih.

Aku sebenarnya merasa malu dan tidak enak hati dengan cara Ibu seperti itu. Namun, apalah daya aku hanya seorang anak yang harus menurut apa kata orang tua. Jika tidak, aku dianggap sebagai anak durhaka.

Kini hal itu terjadi lagi. Laki-laki bernama Bram yang sekitar enam bulan dekat denganku itu sudah mengatakan keinginannya. Apakah dia juga akan pergi setelah mengenal ibuku? Bagaimana jika tidak usah dikenalkan saja? Aku betul-betul bingung dengan situasi ini.

***

Bram masih setia duduk di sebelahku. Ia dengan sabar menungguku membereskan meja kerja hingga tuntas. Sudah dua minggu ini aku menerima tawaran Bram untuk mengantar-jemput dari indekos ke kantor dan sebaliknya.

“Pokoknya mulai sekarang kamu aku antar jemput, ya. Lagipula kita kan satu arah,” kata Bram mencari alasan yang pas untuk bisa bersamaku. Aku pun mengiyakannya untuk menghargai usahanya dalam meraih hatiku.

***

Aku belum bisa memberikan jawaban saat Bram mengajukan pertanyaan yang sama berulang kali.

“Apakah kamu bersedia menjadi teman hidupku, Nan?” tanya Bram. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman dan bahu yang terangkat. Wajah semringah Bram seketika redup.

“Kenapa kamu selalu terdiam saat aku membicarakan soal pernikahan? Apakah aku salah jika ingin segera melamar dan menikahimu? Katakan saja Nan, aku siap mendengarnya.” Sorot mata tajam itu tampak sedih dan kecewa.

“Tolong jangan seperti ini, Bram. Beri aku waktu untuk mampu menjawabnya,” pintaku lirih berharap Bram mau mengerti.

“Berapa lama lagi aku harus menunggumu, Nanda sayang? Cobalah mengerti. Usia kita sudah tidak muda lagi dan aku rasa kita sudah siap menikah serta membina rumah tangga.” Tutur kata Bram menyentil area pribadiku.

Aku bergeming, tak mampu menjelaskan apa yang ada di hati. Ketakutan dan keraguan menghantam dinding kepercayaanku hingga luluh lantak. Kutahan jatuhnya buliran air dari kedua mata.

“Ya, sudahlah. Terserah kamu saja kapan siap mengenalkan aku kepada kedua orang tuamu. Beritahu aku jika sudah siap.” Bram iba melihatku berada dalam situasi yang tidak nyaman.

Sesungguhnya aku merasa tidak enak telah menggantung statusnya dengan alasan yang tidak jelas.

***

Empat hari tanpa kehadiran Bram di kantor, membuatku tak bisa bekerja dengan tenang. Belum lagi ponselnya tidak bisa kuhubungi. Tak ada pesan yang masuk atau pun telepon. Aku hanya mampu memandang tempat kerja Bram dengan hati tak karuan. Ke mana kamu Bram? Semoga semuanya baik-baik saja.

Duh! Mengapa aku jadi gelisah memikirkan laki-laki berkumis tipis dengan sorot mata bagai elang itu? Apakah aku mulai merindukan kehadirannya?

“Apa kabar, Nanda?” Sebuah sapaan hangat terdengar di telinga mampu membuat irama jantungku berdegup lebih kencang.

Aku menoleh ke arah sumber suara yang sangat kukenal itu dengan antusias. Alhamdulillah, ya Allah! Akhirnya aku menemukan kembali energi yang selama empat hari hilang entah ke mana.

“Kamu ke mana aja, Bram?” tanyaku singkat mencoba menahan diri agar tidak terlihat kekhawatiranku.

“Maaf, kalau membuatmu cemas. Aku memang sengaja minta izin pulang ke Jakarta untuk membicarakan niatku melamarmu sekalian mengajak kedua orang tuaku untuk bertemu keluargamu,” papar Bram penuh semangat. Aku terkejut bukan main mendengar penjelasannya.

“Kamu mengajak kedua orang tuamu bertemu keluargaku tanpa meminta persetujuanku, Bram?” protesku. Aku merasa tersinggung dan terganggu dengan caranya membuat keputusan yang harusnya melibatkanku.

“Kamu boleh tersinggung atau bahkan marah dengan caraku, tetapi jangan lupa aku punya hak untuk memutuskan apa yang akan kulakukan. Apalagi ini menyangkut masa depanku, hidupku, dan cintaku. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi dan harus berani membuktikan diri, apa pun yang bakal terjadi.” Bram menatap dan memegang kedua tanganku.

***

Bram. Lelaki sederhana itu telah berhasil memaksaku untuk berani menghadapi realita hidup dengan ikhlas dan rasa syukur. Tak perlu menyesal apalagi sembunyi dari kenyataan karena pada setiap peristiwa pasti ada hikmahnya.

Bahagia rasanya bisa membuat ibu tersenyum kembali. Hal yang sudah lama tak pernah kutemu sejak gagalnya pernikahan adikku dua tahun yang lalu.

Terima kasih, Tuhan. Engkau telah berikan hadiah yang istimewa untuk ibu, seorang menantu yang mampu menghadirkan kembali cahaya di rumah kami.

“Terima kasih, Bram. Kamu telah membuat ibuku kembali tersenyum,” ucapku seraya memeluk Bram yang kini telah menjadi suamiku.

Bandung, 23 September 2019

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami