Joeragan artikel

Gara-gara Masak

 Oleh: Haryati Hs.

Sejak dulu aku paling malas jika disuruh membantu mbahku masak. Tahu kenapa? Karena mbahku itu kolot. Aku dilarang bernyanyi kalau sedang memasak.

“Pamali! Masak mah teu meunang jeung ngahariring sagala!” tegurnya selalu.

Nah, setiap kali aku tanyakan alasannya, mbah pasti berdalih, “Teu kudu loba nanyalah! Pokona mah pamali we!

Itu masih belum seberapa. Tak jarang, mbah memperingatkanku untuk tidak jadi anak durhaka, saking seringnya aku protes. Jadi repot, kan? Untuk urusan masak sambil nyanyi saja si mbah bawa-bawa neraka.

Pada suatu pagi yang tenang, aku keluar dari kamar dengan maksud untuk melarikan diri. Maklumlah, setiap hari Minggu, mbah Odah, begitu aku memanggilnya,  pasti menyuruhku membantunya masak. Alasannya, gadis harus bisa masak agar disayang mertua.

Baru saja satu langkah, aku sudah mendengar teriakan mbah Odah dari dapur.

“Tiii! Pangmeulikeun uyah lembut!

“Iya, Mbah!” teriakku pula.

Buru-buru aku berlari ke warung dan membeli sebungkus garam halus. Aku tidak menyangka, mbah Odah justru mempermudah rencanaku. Sambil senyum-senyum, aku menghampiri Riri, anak tetangga yang sedang bermain di depan rumahku.

“Ri, tolongin kakak, bisa?” tanyaku ramah.

“Tolong apa, Kak?”

“Kasihin garem ini ke mbah Odah.”

“Kok enggak Kakak kasihin sendiri?” tanya Riri curiga. “Nah, Kakak mau kabur, ya?” lanjutnya.

Baru saja aku akan menutup mulut Riri dengan sebungkus permen, tiba-tiba sebuah suara merdu melontarkan tanya, “Siapa yang kabur?”

Dengan perasaan yang meleleh, aku menoleh dan menjawab latah sambil senyum-senyum.

“Aku, Mas, yang kabur.”

Dodi si pemilik suara, yang kerap membuat para gadis di kampungku klepek-klepek, ternganga mendengar jawabanku. Untunglah aku segera tersadar.

“Eh, maksudku anu … ayamku yang kabur, Mas,” ralatku cepat sambil tersipu.

Ketika melihat kakaknya manggut-manggut, Riri berusaha menyanggah jawabanku. Untung saja dengan sigap bisa kubekap mulutnya dengan sebungkus permen yang sudah kusiapkan tadi.

Betewe, Mas Dodi mau ngapain ke sini?”  tanyaku dengan suara yang kubuat terdengar semanis mungkin.

“Dipanggil mbah Odah. Aku disuruh masak –“

“Hah!” Aku terpekik seketika. “Aduh, enggak usah repot-repot, Mas! Aku baru mau ke dapur, kok!”

Aku pun berlari dengan wajah memerah. Mbah aneh-aneh saja, deh, masa nyuruh Dodi masak? gerutuku dalam hati.

Dimana uyah lembutna?” todong mbah begitu aku masuk.

Aku menepuk kening sambil beristigfar dalam hati. Garamku tertinggal pada Riri. Belum sempat memutuskan mau berbuat apa, tiba-tiba …

“Ini garamnya, Mbah. Oh, iya, Dodi langsung masak aja, ya, Mbah?”

“Nggak perlu!” sambarku panik. “Biar Titi aja yang masak!”

Mbah Odah dan Dodi sama-sama bengong memandang kehebohanku.

Memangnya kamu bisa?” ujar Dodi meragukanku.  Keraguan Dodi membuatku semakin malu.

Geus, maneh mah beda urusanna, Titi. Dodi mah rek ngabenerkeun bangku anu dengdek di dieu,” jelas mbah Odah.

Kali itu aku yang tercengang menatap Dodi. Dodi menggangguk padaku dengan menahan tawa. Rupanya dia menyadari kesalahpahaman itu.

“Iya, Titi. Aku mau membetulkan posisi bangku yang miring itu. Akan kupasang pasak di kakinya agar tidak miring dan lebih kokoh ketika diduduki,” jelasnya kemudian. “Kalau memasak makanan, mah, itu tugas seorang gadis. Nah, kalau kabur … itu kebiasaan ayam. Iya kan?”

Dodi mengerling jenaka dan meninggalkanku yang garuk-garuk kepala sambil memegangi garam darinya.

Editor : Ruvianty

#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day5
#temamemasak

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami