Vika bergegas meninggalkan ruangan berukuran enam kali delapan meter itu dengan derai air mata. Wajahnya yang putih tampak memerah ditutup selembar tisu yang mulai basah. Tak dihiraukannya berpasang-pasang mata yang menatap.
Seluruh isi kantor seperti dihipnotis, terbungkam, dan saling memandang penuh tanda tanya. Termasuk aku yang sedari tadi berdiri di balik pintu ruang HRD. Kukejar Vika hingga ke ruang kantornya untuk menuntaskan keingintahuanku pada gelagat yang tidak beres antara Vika dan Bu Dewi.
“Eits, tunggu! Biarkan aku masuk, ya,” pintaku seraya menahan pintu yang akan ditutupnya. Vika spontan menubruk dan merangkulku, menumpahkan tangis yang sedari tadi ditahannya.
Aku tak bisa berbuat banyak selain menenangkan dan menuntunnya duduk di sofa. Kubiarkan gadis itu menikmati tangisannya beberapa saat ditemani secangkir cokelat hangat. Rasa penasaran yang menggelora di dada kuabaikan terlebih dahulu.
“Ada apa lagi, Vik?” tanyaku setelah melihatnya tenang. Vika masih sesenggukan.
“Bu Dewi menuduhku punya hubungan istimewa dengan tunangannya, Rin. Dia menyebutku pelakor.” Vika kembali terisak dan menutup mukanya dengan kedua tangan.
“Kok bisa? Apakah Bu Dewi pernah memergoki kamu dengan tunangannya berduaan? Atau kalian memang sedang berdekat-dekat?” tanyaku heran mencari kebenaran. Vika menggeleng keras. Tatapannya meyakinkanku bahwa ia tidak melakukan. Aku menjadi bingung membayangkannya.
“Kamu kenal nggak dengan tunangan Bu Dewi?” tanyaku kemudian, dikejar rasa penasaran.
“Justru itu, Rin. Aku nggak tahu siapa tunangannya. Namanya, kerjanya, rumahnya … semuanya. Orangnya yang mana aku juga tidak tahu,” papar Vika dengan nada jengkel. Terlihat sekali gadis itu dirundung emosi.
“Apakah sudah kamu jelaskan pada Bu Dewi?” sahutku mengingatkan Vika barangkali dia terlupa. Terkadang hanya karena kesalahpahaman dan komunikasi yang tidak baik bisa berakibat retaknya hubungan pertemanan. Semoga saja hal inilah yang terjadi antara Vika dan Bu Dewi.
“Sudah, Rin. Aku sudah mengatakan semuanya. Namun, Bu Dewi nggak percaya sedikit pun dengan penjelasanku. Dia malah bilang kalau ada informan yang dapat dipercaya,” jelas Vika sedih.
“Wah, gawat. Kenapa jadi aneh begini, ya? Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Bisa-bisa akan berkembang menjadi masalah yang panjang,” gumamku seraya menatap detail wajah Vika berharap menemukan jawaban.
Aku jadi teringat pada gosip yang berkembang beberapa hari ini. Berdasarkan berita yang kudengar, katanya ada karyawan yang mau menelikung atasannya. Menurut kabar yang bertebaran itu karyawan tersebut telah menyusun strategi yang jitu untuk menggagalkan pernikahan Bu Dewi.
Ah, dasar kabar burung! Ada-ada saja berita yang dibawanya meskipun kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Aku sendiri termasuk orang yang tidak menyukai berita seperti itu. Maka, aku dengan sengaja membiarkan berita itu berlalu dan tidak ingin terpancing menanggapinya.
Tak pernah terbersit sedikit pun apalagi menyangka bahwa yang digosipkan itu ternyata Vika, sahabatku sendiri. Orang yang kukenal dengan baik sifat dan karakternya. Bagaimana mungkin Vika melakukannya? Pasti ada yang salah. Rasanya sulit untuk dipercaya bila Vika bisa berbuat senekat itu. Aku menjadi tertantang untuk mencari kebenarannya karena ada gap antara informasi dan realita yang ada.
Vika dituduh selingkuh dengan tunangan Bu Dewi, padahal Vika mengaku tidak mengenalnya. Aneh, kan?
*
Pagi ini kehebohan terulang kembali, bahkan lebih dahsyat. Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bu Dewi marah-marah dan adu mulut dengan Vika di depan para karyawan. Lagi-lagi Vika tidak terima ketika dituduh selingkuh dan dicap pelakor.
Melihat gelagat dan situasi yang tidak nyaman, aku memberanikan diri untuk menemui Bu Dewi dan mencoba klarifikasi. Aku tidak mau Vika dan Bu Dewi menjadi korban fitnah dari seseorang, entah siapa. Selain itu, aku juga sedang mencari cara untuk mengingatkan Bu Dewi agar bisa menyikapi permasalahan dengan bijaksana. Jangan sampai masalah pribadi mempengaruhi kinerja di kantor.
“Maaf, Bu. Kenapa Bu Dewi tidak mau mendengar penjelasan Vika? Padahal Vika sudah mengatakan yang sebenarnya,” kataku mempertanyakan sikapnya yang tidak bijak. Ekspresi Bu Dewi tampak tersinggung.
“Kamu itu kalau tidak tahu, nggak usah ikut campur, ya! Saya punya bukti dan saksi, tidak asal omong saja!” papar Bu Dewi ketus dengan nada meninggi.
“Maaf, apakah tidak berlebihan bila Ibu menegur Vika di depan karyawan? Semoga saja setelah ini Bu Dewi bisa bersikap profesional dan bijak.”
“Iya, saya salah. Maaf, saya terbawa emosi.”
“Oya, apakah saya boleh tahu, apa bukti dan siapa saksinya, Bu?” tanyaku dengan hati-hati.
“Boleh. Sebentar, ya. Ini buktinya,” kata Bu Dewi sambil memberikan bukti chat Vika yang di-screenshot. Kubaca sekilas yang mengirimnya, Nining.
*
Kulihat wajah yang merasa tak berdosa itu dengan geram. Bagaimana mungkin ia bisa tahu? Aku tak pernah membicarakannya dengan siapa pun kecuali Isma. Apakah Isma bercerita pada perempuan itu? Agar hatiku lebih yakin, aku segera menghubungi Isma, sedangkan Nining, entah dari siapa dia tahu.
[Is, kamu lagi sibuk nggak? Sori, ada hal penting yang mau aku tanyakan. Apakah kamu menceritakan tentang Leo pada orang lain?]
[Enggaklah, Rin. Memangnya, aku ini teman apaan?]
[Alhamdulillah. Terima kasih, ya)
Leo, sepupuku yang baru pulang dari sekolahnya di Belanda jatuh cinta pada Vika. Begitu juga Vika. Sekarang ini, mereka sedang menjalani proses pendekatan. Aku sangat senang dengan hal itu karena Vika sangat pemalu. Bu Dewi salah paham karena tunangannya ternyata juga bernama sama, Leo.
Syukurlah, setidaknya aku sudah tahu siapa biang dari semuanya dan bagaimana harus bersikap.
Bandung, 21 September 2019
***