Titik Jeha
Aku berlari mengejar angkot hijau bertuliskan Kebon Kelapa-Ledeng yang melintas di depan kampus sambil melambaikan tangan.
Semoga sopir angkot itu melihatku, batinku.
Maklum, hujan yang mengguyur sejak sore tadi lumayan deras dan sampai sekarang hampir jam sebelas malam belum juga reda. Bisa jadi aku hanya terlihat samar-samar. Alhamdulillah, angkot berhenti menungguku.
Aku segera masuk dan duduk manis di dalam angkot yang lampunya temaram itu. Tak banyak penumpang yang naik. Hanya tiga orang, seorang bapak tua yang tertidur bersandar persis di belakang sopir, seorang gadis yang duduk di pojok, dan aku sendiri.
Kulirik sebentar gadis itu. Lumayan menarik. Meskipun hanya dalam keremangan, tapi siluetnya tampak jelas. Mukanya oval, hidungnya mancung, lengkung alisnya rapi, dan bibirnya seksi. Cantik.
Tiba-tiba dadaku berdesir tak karuan, teringat pada seseorang. Tapi mana mungkin? Ah, sudahlah. Segera kutepis bayangan yang mendadak muncul.
Pelan tapi pasti, aku mencoba bergeser tempat duduk untuk bisa berhadapan langsung dengan gadis itu. Biar saja dibilang mencuri kesempatan karena aku memang tak mau kehilangan momen ini.
Gadis itu hanya diam tidak merasa terusik sedikitpun oleh kehadiranku. Jangankan menoleh, melirik pun tidak. Matanya tetap memandang keluar pada kaca belakang angkot.
Barangkali dia tidak mau dibilang cewek gampangan. Atau mungkin sudah punya cowok. Penasaran mulai menuju ubun-ubun, menggodaku.
“Maaf, itu bukunya jatuh.” Sebuah suara membuatku terpana.
Ya, Allah! Suara itu terdengar akrab di telinga. Hatiku berdegub semakin tak berirama.
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk gadis itu. Ternyata buku Winda yang baru saja kupinjam tergeletak di bawah jok.
“Terima kasih,” jawabku.
Aku mencoba ramah sambil melempar senyum yang menurutku paling keren ke arahnya. Gadis itu hanya tersenyum, tak berusaha menjawab.
Aku terkesima menatap senyumannya yang ganjil. Seolah ada hawa magis yang merasuk. Hingga aku merasanya ingin berlama-lama menikmati wajah yang menawan tapi misterius itu.
Mendadak angin dingin bertiup menerpa tubuhku lewat sela-sela jendela angkot. Tersibak pelan rambut panjang gadis itu dan tercium aroma parfumnya di hidung, wangi Jasmine. Bulu kudukku berdiri, merinding.
Kali ini kuberanikan diri memandang dengan seksama. Ia hanya diam, matanya menatap kaca belakang yang menembus ke jalanan seperti sedia kala. Ada sirat gelisah yang aneh di wajahnya. Meski samar kulihat ada air mata mengalir di pipi yang ranum, tanpa isakan. Betapa sangat ingin tangan ini menyusutnya.
“Kenapa, Dik?” tanyaku.
Gadis itu menoleh menatapku tajam, menusuk begitu dalam. Matanya seakan ingin menembus ke jantung. Aku bergidik.
Sejurus kemudian, tampak dia menggelengkan kepala perlahan. Ada senyum tipis yang kelam di sudut bibirnya.
“Kebon Kelapa habis! Kebon Kelapa habis!” teriak pak Sopir mengagetkanku.
Waduh, ternyata aku tertidur. Mana gadis itu? Aku celingukan mencarinya. Tidak ada.
“Pak Sopir, gadis yang duduk di pojok tadi turun di mana, ya?” tanyaku pada sopir angkot penasaran.
“Gadis yang mana, Cep*? Enggak ada siapa-siapa. Ada juga bapak tua yang duduk di belakang saya,” papar sopir angkot itu dengan nada agak bingung.
Mungkinkah gadis tadi hanya khayalan? batinku bertanya-tanya.
Hatiku sedikit resah. Ada desir aneh yang mengusik di dada. Dengan setengah sadar, aku segera turun dari angkot.
Ketika berdiri aku dikejutkan oleh selembar kertas putih yang melayang, terjatuh dari buku milik Winda yang sedari tadi kupegang. Kuambil kertas itu, ternyata sebuah foto. Ada tulisan yang tertera jelas di sana.
Bandung, 30 Juli 2013
“Me & my beloved little sister”
Lydia-Winda
Ya, Tuhan!
Tampak di foto itu, Lydia dan Winda duduk di sebuah taman sedang makan es krim bersama. Ya, Lydia! Gadis tercantik yang pernah mengisi ruang hatiku. Idolaku, lima tahun silam. Gadis terkeren di kampus yang mampu membuatku bermimpi tentang masa depan yang bergelora, sekaligus menjadikan duniaku terpuruk dalam sepi dan kesedihan yang panjang.
Derita asma telah memisahkan aku dan Lydia untuk selama-lamanya. Sedangkan Winda, gadis manis mahasiswa baru yang kukenal saat ke perpustakaan kampus seminggu yang lalu. Gadis belia yang lucu, imut, lincah dan kutu buku. Aku menyukai gayanya yang sederhana, apa adanya, tapi asyik. Dan sepertinya, tanpa sadar perlahan-lahan nama Winda mulai mengisi relung hati. Dia mampu membuat hari-hariku kembali berwarna.
Kuhela napas dalam-dalam sembari memandang wajah Lydia dan Winda di foto itu secara bergantian. Aku hanya bisa pasrah pada takdir, siapa kelak yang akan menggantikan nama Lydia di hatiku. Windakah?
Bandung, 02 Januari 2019
Cep* = kata ganti panggilan untuk laki-laki dewasa (Bahasa Sunda)