“Ry, script untuk nanti malam sudah di meja kamu ya.” Terdengar suara Rien, scriptwriter yang juga sahabatku dari balik pintu ruang produksi.
“Ok, thanks ya … oya, tunggu sebentar,” Aku memintanya menungguku datang menghampirinya.
“Ada apa, Ry?” tanyanya ketika aku telah berdiri di dekatnya.
Aku mengeluarkan sesuatu dari saku bajuku, sebuah buku notes mini yang menurutku manis dan lucu.
“Aku lihat ini tadi di mal saat liputan, entah kenapa ingat kamu, jadinya kubeli, deh,” jawabku santai. Mata Rien berbinar, dengan suka cita diterimanya buku notes itu.
“Trims ya, Ry. Ini pasti karena warnanya ungu dan ada bunga-bunganya, kamu kan tahu aku suka banget sama segala pernak-pernik berwarna ungu dan bunga-bunga,” jawabnya dengan renyah tawanya terdengar mengalun di telingaku.
Syukurlah kalau kamu suka, Rien. Aku akan berikan apa pun yang bisa membuatmu bahagia, bisik hatiku.
But why?
***
Aku sudah berteman dengan Rien sejak kami duduk di sekolah dasar. Ayahnya, Rayhan Sukma, pemilik stasiun radio terkenal di kota kami dan aku sudah mulai memberanikan magang siaran di sana dari aku kelas satu SMA. Well, tak terasa sudah hampir tujuh tahun, kini kami sama-sama sudah lulus kuliah.
Rien gadis yang manis. Meski anak konglomerat, dia tidak pernah menyombongkan diri. Keluarganya juga baik, terutama ayahnya yang sudah memberikan aku kesempatan menjadi program director di radionya saat ini. Beliau adalah penyiar legendaris panutanku yang juga dosen Komunikasi Penyiaran Islam di kampusku.
Kalau ditanya, apa aku suka pada Rien? Maka sejujurnya aku akan menjawab, iya. Aku suka padanya sebagai seorang teman. Aku sudah hafal betul kelebihan dan kekurangan gadis berhijab rapi yang sering kubuat salah tingkah itu.
Suatu hari, ada teman wanitaku yang mengatakan kalau Rien sebetulnya sudah lama menyukaiku, tapi dia malu mengakuinya. Aku enggak bermaksud GR, tapi kurasa itu wajar saja, aku pria baik-baik, smart and good looking pula.
Jika aku suka padanya sebagai seorang teman dan dia menyukaiku, hmm sebagai apa ya? Haruskah aku mencari tahu atau membiarkannya jatuh dalam friendzone, jika ternyata dia memiliki perasaan yang lebih dalam padaku? Ah, lagi-lagi aku kepedean. Apa pun yang Rien rasakan padaku, aku akan menghargainya.
Bukankah ia seorang muslimah salihah yang selalu menjaga harga dirinya? Jika memang kami ditakdirkan untuk bersama, tentu akan ada jalan bagiku dan dia. Bagiku, Rien Sukma adalah seorang wanita yang patut untuk diperjuangkan.
Tok tok tok.
“Hm, maaf mengganggu ….” Dari balik kaca pintu, kulihat Rien malu-malu mengetuk dan membuyarkan lamunanku.
“Eh, enggak kok … ada apa?” tanyaku sambil mempersilahkan ia masuk dan mengamati sesuatu di tangannya.
“Aku lupa ngasih kamu ini.” Ia menunduk, lalu menyodorkan sebuah kartu undangan berwarna ungu bermotif bunga-bunga kepadaku.
Aku masih tertegun membaca dua buah nama yang familiar tertera pada kartu undangan itu. Adriendy Sukma dan Barry Ghazali, mantan senior yang juga dosen muda di kampus kami dulu. Kuhela napas dengan berat, ternyata aku terlambat!
