Judul : Filosofi Rindu
Penulis : Sam Edy Yuswanto
Terbit : Desember 2020
Penerbit : SIP Publishing
Tebal : 119 halaman
ISBN : 978-623-6960-22-6
Harga buku : Rp 59.000,-
Buku ini berisi tentang kumpulan cerita karya Sam Edy Yuswanto yang pernah dimuat di pelbagai media cetak maupun online sejak tahun 2010 hingga 2020. Hal ini dia lakukan agar karya yang sudah dihasilkan tidak tercecer dan hilang begitu saja. Filosofi Rindu adalah salah satu judul dari cerpen yang dia jadikan judul buku dengan alasan suka dan sreg saja dengan nama tersebut.

Kumpulan cerita ini berisi cerita sehari-hari dengan bahasa sederhana dan menarik, membuat pembaca seolah berada dalam cerita tersebut. Setiap cerita selalu ada kejadian sederhana yang sarat makna, tetapi sering kita lupakan.
Filosofi Rindu sebagai cerpen pertama, mengingatkan kita untuk selalu bersyukur terhadap keadaan yang kita miliki saat ini. Jangan pernah merasa menjadi orang yang paling sengsara dan sulit. Sebab, di luar sana masih banyak orang yang lebih parah dari kita. Kalau kamu sedang kangen dan rindu pada seseorang, bernyanyilah. Setidaknya itu bisa melegakanmu.
Tak perlu kecewa bila yang kamu rindukan ternyata tidak merindukanmu. Ikhlaskan dan lepaskanlah! Jangan pernah menyalahkan rindu karena sampai kapan pun rindu itu suci dan murni. Baiklah, lagu yang akan saya nyanyikan kali ini berjudul “Kangen”, lagu lawas dari Dewa 19 yang saya persembahkan untuk almarhum kedua orang tua yang selalu saya rindukan. (hlm. 6)
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita temui bahwa orang akan meninggalkan sesuatu jika sudah menemukan hal yang lebih baik, meskipun sudah terikat janji dengan yang pertama. Cerpen “Senja di Malioboro” mengingatkan kita dengan hal itu, dikemas dengan bahasa dan kejadian sederhana antara Vio dan Ricard (pasangan gay). Oh, jadi selama ini dia sengaja meninggalkanku karena telah menemukan pengganti yang lebih baik. (hlm. 22)
Berbohong untuk kebaikan dan menyenangkan hati seseorang tidak selamanya berakibat baik. Seperti halnya kisah Nadia yang selalu bertanya kepada ibunya tentang sosok ayahnya. Jawaban orang yang melahirkan Nadia itu membuatnya memupuk harapan bahwa ayah yang dia rindukan suatu saat akan pulang, padahal sang ibu berbohong. Maafkan ibu, Nak. Suatu saat nanti jika kamu telah dewasa, ibu akan menceritakan yang sebenar-benarnya, ucap Ibu lirih dalam hati. (hlm. 29)
Kumpulan cerpen ini ditutup dengan “Kisah Sajadah”. Menggambarkan kebanyakan kelakuan anak muda zaman sekarang yang mudah melupakan kewajibannya kepada Tuhan. Namun, yang tidak pernah kita sadari bahwa barang-barang yang kita pakai untuk beribadah selalu mendoakan, mengingatkan untuk selalu menaati perintah dan menjauhi larangan Allah dengan bahasa mereka sendiri. Andai saja aku bisa menjelma menjadi manusia, tentu aku sudah menangis di hadapannya, bahkan kalau perlu bersujud di kakinya, memohon agar ia kembali seperti Angga yang dahulu. (hlm. 115)
Bahasa yang ringan, cerita sehari-hari yang begitu mengalir, pesan moral yang langsung bisa dipahami oleh pembaca menjadikan buku ini sangat recommended untuk dibaca, terutama oleh remaja.