Titik Jeha
[Lang, jemput aku jam 7. Kita harus ketemu.]
[Oke, Sayang. Tunggu aku, ya!]
Tepat jam tujuh, Galang sudah datang menjemput. Mereka segera pergi setelah minta izin kepada ayah Laras.
“Laras, katakan ada masalah apa. Mudah-mudahan aku bisa membantumu. Lihatlah, wajah cantikmu jadi tampak kuyu,” ucap Galang membelai Laras dengan penuh kasih sayang.
Tiba-tiba Laras memeluk tubuh kekasihnya itu dengan erat. Badannya menggigil, gemetar, keringat dingin mengucur deras. Mukanya memucat. Tangis yang ia tahan sedari tadi, pecah.
Galang kaget dan bingung. Pemuda itu tidak menyangka kalau Laras akan menangis.
“Aku hamil, Lang. Tolong, segera nikahi aku,” ucap Laras lirih, di antara isaknya.
Laras hamil? Muka pemuda itu memerah bagai ditampar, mendengar pengakuan Laras. Bagaimanapun mereka memang pernah melakukan, meskipun hanya di luarnya.
Kasihan, Laras, batin Galang gelisah membayangkan betapa kalut hati kekasihnya itu. Dipeluknya Laras dengan hangat.
Laras semakin terguguk. Dia takut dan sangat khawatir kalau-kalau Galang tidak mau menikahinya.
“Aku sudah periksa ke dokter, Lang. Hasilnya positif . Aku bingung harus bagaimana,” kata gadis itu di tengah tangisan.
Pemuda itu menghela napas panjang. Perasaan bersalah semakin mendera. Apa pun yang terjadi, Galang sangat mencintai Laras. Dia merasa harus bertanggung jawab.
“Sudahlah, Sayang. Kamu enggak usah sedih dan bingung lagi, ya. Aku akan bertanggung jawab dan menikahi kamu secepatnya. Besok aku coba bicara pada ayah ibu untuk segera melamarmu,” ucap Galang lembut membuat hati gadis itu tenang.
“Terima kasih, Lang. Kamu memang baik. Aku mencintaimu,” kata Laras seraya menyandarkan kepala di bahu Galang.
Alhamdulillah, ya Allah. Galang akan menikahiku, batin Laras lega penuh syukur.
***
Laras termenung di depan cermin. Disimaknya seluruh detil di wajah bulat telur itu. Rambut lebat lurus sepinggang, mata sendu, alis yang indah. Apalagi yang kurang? Hidung mancung, bibir bagus, malah banyak orang yang bilang seksi. Lalu apa yang salah?
Tidak ada yang kurang atau pun salah pada wajah dan tubuh itu. Kecantikannya alami bukan polesan. Bentuk tubuhnya semampai, proporsional. Sungguh anugerah yang indah, pemberian Tuhan yang Maha Penyayang. Tetapi mengapa dia bernasib malang?
Gadis itu berharap, semoga Tuhan masih mengasihinya. Setidaknya lewat Galang yang akan segera menjadi suaminya.
Diusapnya cermin itu perlahan, ditatapnya dalam-dalam sepotong wajah yang tampak muram. Awan bergelayut, mendung gelap menutup cahaya. Menjelma titik air menyembul di sudut matanya. Bak rinai hujan di siang hari yang cerah. Gadis itu menangis tanpa suara.
Laras kian termangu menatap bayangan dirinya di cermin. Samar-samar terlintas masa depan yang entah akan berwarna apa. Diusapnya lembut perut kecil yang kian membukit, benih sang ayah tercinta.
Bandung, 21 Januari 2019