Oleh: Haryati Hs.
Aku adalah saksi. Aku melihat semua yang terjadi di rumah ini. Rumah yang dihuni oleh Surya, majikanku, dan ayahnya yang sudah setengah baya. Mereka saling menyayangi, tetapi hidup mereka diliputi tragedi.
Sore itu, Surya tergeletak bersimbah darah di lantai kamarnya. Aku panik, ingin berteriak, tetapi tidak bisa. Sampai akhirnya datang mbak Jum, pembantu rumah tangga. Perempuan muda itu berteriak histeris.
Mendengar teriakan mbak Jum, Pak Jaya, ayah majikanku, datang tergopoh dengan kursi rodanya, disusul oleh para tetangga. Mereka semua terkejut melihat pemandangan yang mengenaskan itu. Tanpa mempedulikan kondisi tubuhnya, pak Jaya merosot dari kursi roda untuk menghampiri tubuh putranya. Hatiku pilu melihatnya. Untunglah mbak Jum dengan sigap membantu pak Jaya menggapai jenazah Surya.
Kudengar salah seorang tetangga menelepon polisi. Sementara, yang lain hanya menonton pak Jaya yang menangis pilu di samping jasad putranya. Bahkan, tidak sedikit pula yang berbisik mengutarakan dugaan-dugaan mereka.
Beberapa saat kemudian, polisi datang. Pak Jaya mengangkat dan menyimpanku di saku bajunya sebelum para petugas polisi mengamankan tempat kejadian. Para tetangga yang berkerumun pun telah diminta untuk menjauh dan tidak mengganggu olah TKP yang dilakukan.
Setelah semua prosedur dilaksanakan, jasad tuanku dibawa untuk diperiksa oleh bagian forensik. Sementara beberapa petugas menanyai pak Jaya dan mbak Jum secara detail. Beberapa tetangga terdekat pun ikut dimintai keterangan.
Selesai melakukan olah TKP, para petugas polisi meninggalkan rumah. Salah seorang petugas menyampaikan kepada pak Jaya dan mbak Jum bahwa mereka akan dipanggil untuk ditanyai lebih lanjut, jika dibutuhkan. Mereka pun meminta pak Jaya dan mbak Jum untuk tinggal di rumah kerabat, karena rumah tempat kejadian akan dipasang garis polisi selama penyelidikan berlangsung.
***
Sudah dua hari polisi melakukan penyelidikan. Namun, semua bukti yang ada tidak mengarah pada pembunuhan, melainkan bunuh diri. Akan tetapi, polisi tidak bisa menemukan motif di balik tindakan bunuh diri tersebut. Hasil penyelidikan itu benar-benar membuat pak Jaya terpukul.
Usai mendapat kabar dari polisi, pak Jaya mengeluarkanku dari kotak penyimpanan di kamarnya. Ia mengelap tubuhku dengan kain flanel yang ada di dalam kotak, kemudian pak Jaya menatapku lama. Sekejap berikutnya, ia menangis tersedu. Aku sangat memahami perasaan lelaki tua itu. Ia sudah cukup menderita dengan perlakuan putranya selama ini.
“Aku tidak menginginkan kematiannya,” bisik pak Jaya kepadaku di sela isakannya.
Tangannya yang gemetar mengusap tubuhku. Ingin rasanya aku menghibur lelaki tua itu, tetapi ia pasti tak akan mendengar apa pun yang kukatakan.
“Mengapa kamu lakukan hal itu, Nak?” rintih pak Jaya, seolah berharap jiwa putranya akan mendengar dan memberikan jawaban.
“Bapak ikhlas dengan perlakuanmu pada bapak. Bapak tahu, kamu tak kuasa menolak dorongan amarah itu.” Tangis pak Jaya semakin menjadi, sehingga air matanya menetes ke tubuhku.
“Maafkan bapak yang tidak memahami trauma masa kecilmu lebih awal, Nak. Seharusnya bapak segera membawamu ke psikiater untuk berobat.”
Lelaki tua itu terlihat sangat letih. Tangan gemetarnya membuka kedua gagang bingkaiku. Kemudian, ia memasangku di matanya, lalu menerawang. Seolah-olah, melalui diriku, ia dapat melihat kembali putaran peristiwa dalam hidupnya, yang ditingkahi oleh dua kepribadian yang dimiliki putranya. Dua kepribadian yang tak diketahui siapa pun, kecuali aku dan dirinya.
Editor : Ruvianty
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day18
#temaakusebagaibenda
#genremisteri