Joeragan artikel

Dilema Sebuah Keputusan

“Bunda, apakah kalian benar-benar akan menikah? Mengapa tidak berteman saja?” protes Zahra pada Risma, perempuan paruh baya yang sedang mengemasi perlengkapan kantornya. Gadis remaja yang baru menginjak kelas delapan itu tidak sabar ingin segera mendapat jawaban. Ia sudah menahan diri sejak dua hari yang lalu, setelah mendengar informasi dari Tante Nur bahwa ibunya akan segera menikah.

Risma pura-pura tidak mendengar pertanyaan Zahra yang lebih pas disebut teriakan. Ia tidak menyangka akan secepat ini mendapat respon dari Zahra. Dalam hati, perempuan pemilik lesung pipit itu mencoba untuk menata hati agar tidak terlihat gugup di depan anak sulungnya. Ini baru satu, belum anaknya yang satu lagi, Zaid. Kebetulan dia belum pulang dari sekolahnya karena ada jadwal ekstrakurikuler. Pasti anak itu juga sudah mengetahui rencananya.

“Bun, jangan diam, atuh. Jawab! Zahra mau mendengar langsung dari Bunda, bukan orang lain.” Gadis itu mengejar terus ke mana pun Risma beringsut. Rasanya tak ada tempat persembunyian untuknya. Risma bukannya tidak mau memberi penjelasan perihal yang baru saja ditanyakan Zahra. Ia hanya mencoba untuk menunda. Jangan sekarang, akan ada waktu lain yang lebih pas untuk bicara. Begitu menurut Risma.

Merasa tidak berhasil, gadis itu bergegas lari ke kamar setelah lebih dulu melempar tas ranselnya ke sofa di depan TV. Dia sengaja melakukan itu untuk menunjukkan kemarahan pada Risma yang tidak mau memenuhi keinginannya. Risma menghela napas dalam-dalam sembari menggelengkan kepala mendapati aksi spontan Zahra. Dia hafal betul tabiat puteri kesayangannya itu jika sedang marah. Tidak mudah untuk melumerkan hatinya.

*

Pagi ini tidak seperti biasanya yang selalu heboh sejak bangun tidur hingga menjelang berangkat sekolah. Rumah tampak sepi dan hening. Risma merasa heran dan aneh dengan suasana pagi ini. Tumben tidak ada aktivitas yang terpantau indera pendengaran dan penglihatannya. Ke mana anak-anak? Apakah mereka libur sekolah?

Cepat-cepat dia menghampiri kamar Zahra dan Zaid yang berdampingan. Ternyata, pintunya tidak terkunci jadi cukup mudah untuk menemukan kedua buah hatinya yang tampaknya masih tertidur.

“Stop! Berhenti di situ, Bunda! Tidak boleh ke mari. Aku sama Zaid nggak mau sekolah kalau Bunda belum ngomong masalah Om Adam.” Suara Zahra mendadak terdengar di balik selimut melarang Risma mendekat. Risma tersenyum geli memperhatikan tingkah kedua permata hatinya yang mogok sekolah hanya untuk sebuah jawaban.

Memang tidak mudah untuk meyakinkan kedua anaknya agar bisa menerima Adam sebagai pendamping hidupnya. Adam, pria berusia empat puluh lima tahun yang sekitar tiga bulan ini mulai dekat dengannya.

Hubungan Adam dengan Zahra dan Zaid sebenarnya baik-baik saja. Malah untuk beberapa hal mereka terlihat kompak dan akrab. Tak jarang, lelaki pengusaha itu jalan-jalan bertiga saja tanpa dirinya. Bukankah itu pertanda baik? Lantas, mengapa mereka menolak rencana pernikahannya?

Sebelumnya, Risma pernah memikirkan untuk tidak menikah setelah perceraiannya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan segala benturan yang dilalui maka ia memutuskan untuk menerima ajakan Adam untuk membina rumah tangga. Ada alasan kuat mengapa Risma menerima lamaran pria maskulin itu, di antaranya adalah ia tidak ingin menjadi pergunjingan orang yang cenderung melihat status janda sebagai perempuan ganjen yang suka menggoda suami orang.

Seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu saat di kantor tempatnya bekerja. Saat itu sedang istirahat makan siang ketika Risma secara tidak sengaja berjalan beriringan dengan Fey, manager baru yang kebetulan satu divisi. Hampir seluruh isi kantor menatapnya dengan pandangan yang penuh prasangka.

Bukan hanya sampai di situ. Mereka bahkan ada yang terang-terangan menyindirnya. Entah apa maksud sebenarnya.

“Wah, bisa untuk gebetan baru ya, Bu. Kayaknya cocok juga, tuh. Yang satu manajer produksi, satunya lagi manajer marketing,” celetuk sebuah suara di antara banyak celoteh yang berseliweran, entah siapa.

Ingin rasanya ia menghampiri orang itu, memarahi, dan memaki-makinya agar bisa bersikap santun kepada orang lain. Namun, untuk apa jika hasilnya malah jadi bahan tertawaan orang. Untunglah Risma sudah menyiapkan diri sebelumnya sehingga apa pun omongan orang tidak dilayaninya dengan emosi. Dibiarkannya mereka bicara seenaknya, anggap saja seperti kata pepatah, anjing menggonggong kafilah berlalu.

Itu masih tak seberapa jika dibandingkan dengan kejadian di rumah Lastri waktu arisan di hari Minggu kemarin. Lastri, sahabatnya sejak SMP, yang mengetahui persis kisah pecahnya biduk rumah tangga Risma.

“Kamu kok tenang-tenang saja, Las, berteman baik dengan Risma? Bukankah sekarang dia sudah janda, ya? Apakah kamu tidak takut jika suamimu jatuh cinta pada Risma? Lihat, pria mana yang tidak akan terpikat olehnya?” tanya salah seorang teman peserta arisan kepada Lastri sahabatnya.

“Oh, iya, Mbak, tenang saja. Saya memang mau menjauhi dia dan sedikit demi sedikit tidak bergaul dengannya lagi, kok. Ini baru proses awal, Mbak. Soalnya saya juga tidak mau rumah tangga saya rusak gara-gara berteman dengan Risma, apalagi jika sampai suami saya tertarik padanya. Wah, nggak boleh, deh. Saya kan bisa rugi,” papar Lastri dengan gamblang tanpa ragu-ragu sedikit pun. Ada nada geram dalam kalimat-kalimatnya. Risma mendengar semua yang dilontarkan Lastri dengan sangat jelas.

Hati Risma terasa amat sakit saat mengetahui hal itu. Di hatinya yang terdalam, ia masih belum bisa menerima kenyataan jika Lastri bermuka dua. Namun, begitulah realita, akhirnya perempuan single parent itu segera sadar bahwa yang didengarnya itu memang nyata adanya.

*

Memulai dan membangun kehidupan baru tidaklah gampang, tetapi tidak ada salahnya untuk mencoba. Biarkan saja cerita nanti akan seperti apa, serahkan saja skenarionya pada Tuhan. Risma tahu bahwa kehidupan akan terus berjalan dinamis sepanjang waktu. Tak ada yang bisa menjamin kebahagiaan seseorang selain dirinya sendiri.

Bandung, 09 Oktober 2019

***

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami