Oleh : Etika Amatusholihah
“Tadi dia di sini, Pak. Aku melihatnya!”
“Enggak ada Bu, saya dari tadi di sini,” jawab Pak Toyo, tukang gorengan yang biasa mangkal di depan pagar Masjid Mubarok. “Ibu salah lihat kali!”
“Ya, Allah. Terus aku harus mencari dia ke mana, Pak?”
“Enggak tahu, Bu.”
“Dia enggak pernah pergi sendirian Pak, dia selalu sama saya kalau pergi.” Aku masih celingak-celinguk, mondar-mandir mencarinya dengan perasaan mulai tidak tenang dan khawatir.
Pikiranku mulai macam-macam, jangan-jangan dia jadi korban penculikan, lalu dimutilasi dan dibuang ke sebuah tempat yang jauh. Aduh …! cemasku bertambah.
“Coba aja, minta tolong orang masjid bikin pengumuman pakai speaker, Bu. Mungkin aja ada yang tahu.” Pak Toyo pun jadi ikutan panik.
“Oh, iya benar, terima kasih, ya Pak.”
Aku bergegas masuk ke dalam masjid dan meminta tolong salah satu pengurus masjid untuk mengumumkan berita kehilangan.
Aku menangis sesenggukan, berharap dia kembali. Entahlah, pikiran ini semakin kalut dan kacau.
Wahai engkau yang nun jauh di sana dan entah di mana saat ini berada. Kembalilah segera, kembalilah.
Aku menunggunya hingga malam, namun tak jua ada tanda-tanda dia datang. Kuhubungi semua sanak saudara dan tetangga terdekat dengan gawai. Berharap dia ada di sana.
Aku tak lelah menunggunya sampai penjaga masjid memintaku untuk pulang karena pagar masjid akan digembok.
Aku pun terpaksa pulang dengan berjalan lunglai. Rasanya tak ada lagi gairah hidup. Berhari-hari akan kulewati tanpanya, berat terasa.
Pupus sudah harapan, aku harus belajar mengikhlaskannya pergi.
Mungkin kau telah lelah bersama, mengikuti semua ego dan menuruti kesombonganku. Maafkan aku, hikh.
Terima kasih telah menjadi bagian penting dalam hidupku. Langkah tak kan dapat sejauh ini, tanpa dukunganmu wahai sandal jepitku.